SLS 2
Bab Sebelas
Maryam terbaring lemah di kasurnya. Selera makannya menurun. Berkali-kali ibunya membujuknya, namun Maryam tetap menolak. Tiap hari yang dia pikirkan hanya David dan David.
Anggel datang ke rumah Maryam untuk
menghiburnya. Ia tidak tega melihat Maryam terus-menerus sedih dan larut dengan
masalah hatinya.
“Maryam, aku membawa kaset musik balet. Kau
mau tahu betapa hebatnya saat aku menari balet? Aku sudah kursus sejak sekolah
dasar, kau ingin lihat?”
Maryam mencoba tersenyum meski masih terlihat
memaksa.
“Boleh, coba aku
lihat.”
Anggel memutar kaset itu dan mulai melakukan
gerakannya dengan anggun namun tetap terlihat lincah. Namun, Maryam terkesan
hanya basa-basi memperhatikannya.
“Please Maryam, bilang padaku apa yang
harus aku lakukan agar kau terhibur dan stop melankolis seperti ini?”
Anggel menghentikan gerakannya dan mematikan musik seketika.
“Aku tidak tahu, Anggel. Aku tidak bisa lari
dan tak tahu bagaimana caranya untuk menghentikan pikiran ini.” Maryam menghela
nafas berat. “Look at yourself! You look so awful and messed up (Lihat
dirimu! Kau begitu menakutkan dan berantakan).. Kau mengabaikan pola makanmu
hingga kurus dan tak terurus begini. Aku mengkhawatirkanmu, Maryam!”
Dipegangnya pundak Maryam.
“Entahlah..”
“Bisa kau tinggalkan aku sendiri sekarang,
Anggel? Aku ingin sendiri dulu saat ini,” lanjut Maryam lagi.
Tak ada pilihan lain untuk Anggel selain membiarkan sahabatnya sendiri untuk sementara. Mungkin memang Maryam butuh waktu untuk menenangkan diri.
Jardon sengaja datang ke tempat David dengan
menjinjing setumpuk buku.
”Ini aku bawakan untukmu sesuatu.”
Diletakkannya tumpukan buku yang sedari tadi dibawanya di atas kasur David.
Beberapa buku Motivasi; ada Cara Menghilangkan Stress, Bangkit dari Pikiran
yang Mengancam, Cara Mudah Menghilangkan Depresi Cinta, 10 Trik Melupakan
Cinta, hingga buku Chicken Soup for the Soul.
David hanya melirik sekilas tumpukan buku di
sampingnya dan tetap melanjutkan lamunannya.
”Ayolah sobat, aku benar-benar kehilangan
dirimu. This is not The Great David that I’ve known before (Ini bukan
David yang kukenal sebelumnya).” Ada kekecewaan di mata Jardon melihat
sahabatnya terus menggalau seperti itu.
”Ini buku-buku bagus buatmu. Ayo kita
praktikkan agar kau lepas dari derita cinta ini, Kawan. Ini, coba lihat, ini
buku Sepuluh Trik Melupakan Cinta. Mari kita bahas dan praktikkan, Dave!”
Jardon begitu antusias, namun David tetap tak bergeming, menoleh pun tidak.
”Dave... Hello... Are you here with me?
Dya really hear me or not? (Kau memperhatikanku atau tidak?) Aku benci
melihatmu seperti ini. Bangkitlah, Dave! Jangan seperti ini terus!” Kesabaran
Jardon sudah di ubun-ubun.
”Jardon, can you leave me alone? (Jardon,
bisa kau tinggalkan aku sendiri?) Aku mau sendiri. Jangan ganggu aku dulu. Please...”
Pintanya setengah memohon.
”Fine, then. Okey. Terus saja seperti ini. Terus saja kau menangis, melamun, menangis, melamun, lalu ma.. ti.. Terserah kau saja. I’m giving up (Aku menyerah)!” Jardon kesal setengah mati. Ditinggalkannya David dengan kesendiriannya.
Maryam sedang tertekan oleh perasaannya
sendiri. Rasa rindunya pada David benar-benar tak bisa ia tahan lagi. Perlahan
ia bangkit dari tidurnya, mencoba berlari walau tak punya cukup tenaga. Ya,
tubuhnya tak berdaya karena beberapa hari perutnya tak menyentuh asupan
makanan. Dengan tertatih, Maryam berlari keluar dari kamarnya. Ia sedang berusaha
kabur dengan mengendap-endap. Ada rasa takut akan ketahuan oleh ayahnya, tapi
akhirnya ia berhasil keluar. Ia terus berlari dan berlari entah kemana.
Di tempat berbeda, David juga melakukan hal
yang sama. Ia bangkit dari tidurnya, dan dalam kondisi berantakan, ia berusaha
untuk berjalan lalu keluar dari asrama gereja. Akhirnya ia berhasil keluar
tanpa sepengetahuan pihak gereja dan ayahnya. Ia terus berlari tanpa tujuan.
Maryam terlunta-lunta di jalanan. Ia terus
berlari, diabaikannya udara dingin dan angin kencang yang menusuk-nusuk
kulitnya malam itu. Ia menuju ke sesuatu tempat.
”Aku rindu kamu, Dave. Aku rindu. Aku ingin
bertemu denganmu,” bisik hati Maryam yang masih terengah-engah dalam
kelemahannya.
Di tempat berbeda, David pun berlari menelusuri
jalanan kota. Ia juga menuju ke suatu tempat.
”Aku merindukanmu, Maryam. Aku merindukanmu.
Aku ingin bertemu denganmu,” bisik hati David dengan terengah-engah.
Jalanan jauh telah Maryam tempuh dengan
berlari. Begitu juga dengan David. Tanpa diduga oleh keduanya, di halte bus
mereka bertemu; halte di mana Maryam dan David biasa bertemu. Maryam terhenti
sesaat ketika didapatinya sosok David sedang berlari dari kejauhan menuju ke
arahnya. David tak kalah terkejut begitu melihat Maryam sedang berdiri tak jauh
dari hadapannya.
”Ikut aku, Maryam. Kita pergi saja, aku tak
bisa jika harus hidup tanpamu,” ucap David dengan memohon.
”David..”
”Aku tak biasa berpisah denganmu, Maryam. Aku
tak sanggup,” lanjut David lagi.
”Aku juga, Dave. Tapi ini tidak mungkin untuk
dilakukan. Ini tidak mungkin.” Maryam ragu dengan ajakan David.
”Kita pergi saja, Maryam. Kita pergi, dan
hanya ada kita berdua. Aku janji tidak akan menyentuhmu. Aku akan selalu
menjaga kehormatanmu, asal kita selalu bersama. Aku tidak bisa jika kau harus
menjadi milik orang lain, Maryam.” Airmata David tumpah juga di hadapan Maryam.
”Baiklah, bawa aku pergi ke manapun kau mau.”
Maryam akhirnya tidak punya pilihan lain.
”Kau bersedia, Maryam? Sungguh kau bersedia?”
David seakan tidak percaya dengan jawaban Maryam untuk menyanggupi ajakannya.
Dan tiba-tiba saja David tersungkur di hadapan Maryam. Ia pingsan karena
kelelahan.
”Dave.. David.. Bangun, Dave! Kau bilang kau mau membawaku pergi. Bangunlah, Dave! Bangun.. Tolong.. Tolong..” Di tengah kepanikannya, Maryam mencoba mencari pertolongan, tapi ia sendiri tak punya cukup tenaga untuk berjalan. Pandangannya mulai kabur, matanya berkunang-kunang, kepalanya serasa dihantam godam. Perlahan yang ia lihat hanya gelap. Ia tidak bisa melihat apapun lagi. Ia terduduk kemudian pingsan di samping David.
Mata David terbuka perlahan. Ia melihat ke
sekelilingnya, sepertinya ia sedang berada di sebuah rumah yang sama sekali
asing. Dirabanya keningnya, ada handuk kecil yang terasa dingin. Seseorang
telah mengkompres keningnya.
”Kau sudah sadar?” ucap seorang wanita tua
yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Entah dari mana datangnya.
”Di mana aku?” tanya David yang masih
berbaring lemah di sofa empuk itu.
”Kamu aman sekarang, kamu sedang berada di
rumahku. Tadi kutemukan kamu sedang
pingsan di jalanan. Sopirku yang
menggotongmu.” Wanita tua itu menjelaskan.
”Maryam... Maryam... di mana Maryam?” tanya
David panik. Ia mencoba untuk bangkit, tapi ia masih tak punya daya.
”Maksudmu gadis yang pingsan bersamamu? Dia
ada di sini. Tapi kondisinya masih lemah, dia ada di kamarku. Sepertinya dia
harus dibawa ke dokter,” jawab wanita tua itu.
”Tolong bawa aku ke tempatnya, aku ingin
melihatnya!” Pinta David, matanya berkaca-kaca.
”Baiklah...” ucap wanita tua itu lalu
menuntun David menuju kamarnya. Saat tiba di sana, ia lihat Maryam terbaring
lemah.
”Maryam...” Didekatinya Maryam yang masih
tertidur.
Wanita tua itu hanya diam meski sebenarnya
dia masih penasaran dengan mereka berdua.
Tiba-tiba mata Maryam mengerjap, jari tangannya
bergerak-gerak.
”David...”
lirihnya.
”Aku di
sini, di sampingmu...”
”Apa kau sudah membawaku pergi? Di mana kita
sekarang?” tanya Maryam.
”Iya, aku sudah membawamu pergi, Maryam. Kita
aman sekarang,” ujar David meyakinkan. Wanita tua itu terlihat iba melihat
kondisi kedua anak remaja yang berada di rumahnya tersebut, tapi ia masih diam
tak berkomentar.
”Aku haus...”
Ucap Maryam.
”Sebentar...” Wanita tua itu langsung
mengerti. Ia pun keluar untuk mengambil air putih.
Mata David berkaca-kaca, ia tak percaya akan
senekat ini kabur dari rumah dan membawa Maryam bersamanya.
”Minumlah...” Wanita tua itu memberikan dua
gelas air putih yang besar.
David mengambilnya dan memberikan segelas
pada Maryam. Maryam mencoba untuk bangkit tapi ia masih tidak kuat untuk
sekedar mengangkat kepalanya.
”Tuntunlah dia agar bisa sedikit duduk.”
Pinta wanita tua itu pada David.
”Aku sudah berjanji tidak akan menyentuhnya.
Bisa tolong kau bantu dia untuk minum? Aku mohon,” pinta David.
Wanita tua itu sedikit bingung. Diambilnya
gelas itu dari tangan David dan membantu Maryam untuk duduk lalu meminumkannya
pada Maryam.
”Dia harus dibawa kerumah sakit, kalau tidak
keadaannya akan semakin memburuk,” ucap wanita tua itu.
”Aku tidak mau... aku mau di sini saja...
jangan bawa aku ke rumah sakit, Dave. Aku ingin bersamamu. Aku takut nanti
ayahku akan menemukanku. Aku tidak mau melihatnya lagi, Dave.” Maryam menangis
histeris.
”Tapi kondisimu
tidak baik, Maryam.” David mencoba menenangkan, ia sedih.
”Aku sama sekali tidak keberatan kalian
berada di sini. Tapi bagaimana dengan kondisimu? Apa sebaiknya kupanggilkan
dokter untuk ke sini?” wanita tua itu berinisiatif.
”Tidak usah, aku akan baik-baik saja. Terima
kasih.” Maryam masih menolak.
”Aku keluar sebentar.” David beranjak dari sisi
Maryam.
”Jangan pergi, Dave. Kau di sini saja, temani
aku,” pinta Maryam.
”Aku hanya
keluar sebentar, nanti aku pasti kembali.”
Dilemparkannya senyum agar Maryam merasa
tenang.
”Dave, jangan tinggalkan aku!” Maryam masih
keberatan.
”Aku ingin menelepon Jardon. Aku harus minta
pertolongannya, Maryam, agar dokter bisa ke sini, agar kondisimu membaik.”
”Don’t. Please, don’t go! (Jangan. Kumohon,
jangan pergi)”
David tetap bersikeras keluar, ia pamit pada
wanita tua itu.
Malam itu, udara di luar sangat dingin
menusuk kulit. David mencari telepon umum, setelah menemukannya ia memencet
beberapa digit.
”Hello..”
Suara di seberang sana.
”Jardon, it’s
me, David.”
”Dave, di mana kau? Ayahmu meneleponku,
katanya kau kabur dari rumah. Keadaan sedang gawat sekarang. Orang suruhan ayah
Maryam juga datang ke gereja ayahmu. Maryam juga kabur dari rumahnya, apa kau
bersama Maryam?” Jardon memberondongnya dengan pertanyaan.
”Iya, aku
bersama Maryam sekarang.”
”Kau gila, Dave. Apa yang sedang kau lakukan
ini? Berhentilah berbuat nekat. Kau akan mengacaukan semuanya.” Jardon tidak
habis pikir dengan kelakuan sahabatnya yang tidak biasa itu.
”Aku tidak mau berdebat saat ini, Jardon.
Yang aku butuhkan saat ini adalah bantuanmu,” pinta David.
”Baiklah, apa yang bisa kubantu?” Jardon luluh
juga.
”Saat ini Maryam dan aku berada di rumah
seseorang. Tadi kami berdua pingsan di jalanan, lalu ada wanita tua
menyelamatkan kami. Kondisi Maryam sangat lemah, dia harus dibawa ke dokter.
Kau bisa meminjamiku uang, Jardon?”
”Oh My God. Sekarang katakan di mana
posisimu?” tanya Jardon panik.
David memberitahukan alamatnya, tapi
tiba-tiba saja seseorang menarik kerah baju David dari belakang.
”Dave.. David.. Hello..!” Teriak
Jardon panik setelah tak ada suara lagi dari David di seberang sana.
Gerombolan lelaki berbaju hitam-hitam mengelilingi
David, seseorang di antaranya menarik kerah bajunya hingga lehernya kesakitan.
”Di mana Maryam?” tanya lelaki berambut cepat.
”Dia tidak bersamaku!” Teriak David. Dia
ketakutan.
”Cepat katakan di mana kau sembunyikan
Maryam?!” bentak lelaki berambut cepak itu, lalu menampar muka David. David mencoba
melawan sekuat tenaga dengan mendorong lelaki itu agar menjauh dari tubuhnya.
David berhasil bebas dari cengkeramannya. Ia mencari-cari alat untuk
perlawanan, lalu ditemukannya sebuah balok. Ia raih balok itu dan mencoba
menantang gerombolan lelaki kekar berbaju hitam-hitam yang ada di hadapannya.
Lelaki berambut cepak yang tersungkur tadi
mulai emosi. Lalu tibatiba semuanya menyerang David tanpa ampun. Mereka
memukulinya, tendangan demi tendangan mengenai tubuhnya. Satu lawan banyak.
Jelas tidak seimbang. Ia tersungkur babak belur, hingga hidungnya mengeluarkan
banyak darah.
”Katakan di mana kau sembunyikan Maryam?”
tanya lelaki itu lagi seakan tidak mau menyerah.
”Dia tidak
bersamaku.”
Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka
mengeluarkan pistolnya lalu mengarahkan moncongnya tepat di kening David.
”Katakan padaku di mana kau sembunyikan
Maryam?” bentak orang itu semakin keras.
David ketakutan, ia gemetar hebat ketika
melihat pistol itu. ”Dia, dia berada di rumah itu!” Tunjuk David. Lalu mereka
bergegas pergi menuju rumah yang ditunjuk David. Pandangan David semakin gelap.
Tendangan demi tendangan yang baru saja diterimanya membuat tubuhnya semakin
tak berdaya. Ia tidak sadarkan diri.
Wanita tua itu terkejut begitu melihat
sekelompok orang yang berpakaian hitam-hitam tiba-tiba memasuki rumahnya dengan
kasar.
”Di mana gadis itu bersembunyi?” tanya si
rambut cepak.
”Kalian siapa?”
wanita tua itu panik.
”Dia anak dari majikan kami, kami harus
membawanya pulang.”
”Dia... dia ada di kamarku...” Agak gugup
wanita tua itu menjawab.
Tanpa membuang waktu, mereka menuju kamar
yang ditunjukkan wanita tua itu.
”Dave..?” Maryam kaget saat segerombolan pria
memasuki kamarnya.
”Kami harus
membawamu pulang.”
”Aku tidak mau pulang. Di mana David? Dave..
tolong.. tolong aku..” Maryam meronta saat lelaki kekar itu mencoba
menggendongnya. Percuma, tenaga lelaki itu terlalu kuat untuk dilawan. Maryam
pun pingsan dan seketika itu juga lelaki kekar itu membawanya pergi.
Bab Duabelas
Maryam terbaring lemah di rumah sakit. Jarum infus menembus tangan kirinya, matanya masih terpejam. Sudah beberapa jam ia tidak sadarkan diri. Ayahnya sejak tadi melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, sementara ibunya terus menangis di samping Maryam.
Beberapa menit kemudian, Khaled datang. Ayah
dan ibu Maryam sengaja meninggalkannya berdua bersama Maryam. Mungkin kehadiran
Khaled di samping Maryam bisa membantunya untuk sadar kembali, begitu maksud
hati ayahnya.
Khaled merasa iba begitu melihat kondisi
Maryam yang lemah tak berdaya. Ia ambil tempat duduk tepat di samping ranjang
Maryam. Dilantunkannya surat Al-Fatihah dari bibirnya dengan lirih.
”David... David... David...” Maryam meracau
dalam mimpinya. Perlahan matanya terbuka.
”Maryam...” Khaled memanggilnya, mencoba
memastikan bahwa Maryam telah sadar. Ia sedikit bertanya dalam hati, siapa yang
disebut Maryam tadi.
”Di mana aku?”
tanya Maryam.
”Kau di rumah sakit, Maryam. Aku panggil ayah
dan ibumu di luar ya?” Khaled tersenyum lembut.
”Di mana David? Di mana dia?” tanya Maryam
dengan nada keras.
”David? Siapa dia? Aku tidak tahu, Maryam.
Aku baru saja datang setelah menerima kabar ayahmu. Oh, mungkin bisa aku
tanyakan pada Ayahmu...” Khaled hendak beranjak keluar, namun Maryam
mencegahnya.
”Jangan. Aku tidak mau bertemu dengan ayah
dan ibu. Kumohon, jangan katakan kalau aku sudah sadar,” ucap Maryam.
”Kenapa? Mereka orang tuamu, Maryam.” Khaled
heran dengan sikap Maryam.
Maryam terdiam.
”Khaled...” Maryam mencoba mengumpulkan
kata-kata.
”Iya...” Ditatapnya wajah Maryam yang nampak
tegang.
”Do you love me? (Apa kau mencintaiku?)”
tanya Maryam.
Khaled mencoba menyembunyikan mimik wajahnya.
Ia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan sefrontal itu dari Maryam. Dadanya
berdetak hebat, gugup luar biasa.
“A... aku...?”
“Iya, aku bertanya padamu. Do you really
love me? (Apa kau benarbenar mencintaiku?)” Maryam mengulang kalimatnya
lagi.
Khaled menarik nafas dalam, dipejamkannya
matanya, “Atas nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, aku.. aku memang mencintaimu, Maryam.”
“Jika aku tidak ikhlas menjadi istrimu kelak,
apakah kamu masih mau menikah denganku?” tanya Maryam lagi, kali ini ia lebih
hati-hati.
“Pernikahan harus didasari suka sama suka,
Maryam. Jika salah satunya terpaksa, maka pernikahan itu tidak sah.” Ada
khawatir yang dirasakan Khaled.
“Itu yang aku rasakan padamu. Aku tidak
bersedia untuk menjadi istrimu.” Sejujurnya Maryam merasa takut untuk
berterus-terang secara langsung tentang perasaannya kepada Khaled, tapi ia
pikir ini saat yang tepat untuk mengutarakannya. Ia tidak punya pilihan lain
selain mengatakannya.
Khaled tidak tahu harus menjawab apa, harapan untuk menikahi Maryam pupus sudah.
Jardon menemukan David yang sudah tidak
sadarkan diri. Ada darah segar mengalir dari lubang hidungnya, begitu juga
dengan keningnya yang memar memerah. Tanpa membuang waktu, Jardon segera
membawa sahabatnya itu ke rumah sakit terdekat.
Dokter sudah berkali-kali mengganti cairan
infus yang menembus lengan David, namun ia belum juga sadarkan diri. Ayahnya,
pastur berwajah cerah dan tua itu, terus berdoa untuknya. Beberapa biarawan
juga turut menjaganya.
Mata David bergerak-gerak, cahaya lampu
menyilaukan matanya. Ia perlahan sadar begitu mendengar suara lirih ayahnya
yang terus menyebut nama Tuhannya dalam tiap doanya.
“Ayah...”
”Puji Tuhan, kau sudah sadar, Nak?” ucap
Ayahnya.
”Ayah, di mana Maryam? Bagaimana keadaannya?”
David teringat Maryam.
”Maryam? Ayah tidak tahu, Nak. Ayah dihubungi
seseorang bahwa kau masuk rumah sakit dan Ayah tidak melihat Maryam bersamamu.”
Ayahnya menjelaskan. ”Aku harus bangun, Ayah. Aku harus keluar dari rumah sakit
ini dan mencari Maryam. Aku pergi bersama Maryam malam itu, Yah. Aku takut
terjadi apa-apa padanya.” David mencoba bangun dan melepas infus yang melilit
tangannya.
”Kau masih lemah, Nak. Kau belum boleh
beranjak dari tempat tidurmu. Tenang saja, Maryam pasti baik-baik saja.”
Ayahnya berusaha menenangkannya.
”Tidak, Ayah, pasti terjadi sesuatu dengan Maryam.”
David berontak dari pegangan ayahnya.
”Tenanglah, David. Kau tidak boleh terlalu
banyak pikiran dulu. Tenang, Nak.” Direbahkannya kembali tubuh David agar
kembali tenang.
”Ayah, aku harus bertemu Maryam. Aku harus
menemuinya. Aku ingin tahu keadaannya sekarang. Bantu aku, Ayah. Bantu aku.”
David mengiba. Ia menangis dalam dekapan ayahnya.
”Sebut nama Tuhan, Nak. Percayalah padaku,
Maryam akan baikbaik saja.” Dielusnya rambut David lembut.
”Aku harus bertemu Maryam. Aku harus bertemu dia, Ayah,” isaknya.
Khaled masih mematung di dekat Maryam. Entah
apa yang dipikirkannya, yang jelas saat itu ia merasa rapuh. Hatinya pedih
mengetahui bahwa gadis pertama yang akhir-akhir ini telah menghiasi hatinya
ternyata tidak mencintainya.
”Aku sudah berusaha untuk mencintaimu,
Khaled. Aku berusaha untuk menyiapkan diri agar kelak bisa menjadi istrimu yang
shaleha, menjadi istri yang baik... tapi... aku tak bisa. Bantu aku... bantu
aku, Khaled,” ucap Maryam di tengah isak tangisnya.
Khaled hanya diam, ia tak tahu harus berucap
apa lagi pada Maryam.
”Sebelum aku mengenal kamu, aku sudah dekat
dengan seorang lelaki. Dia yang pertama kali membelaku di sekolah. Saat itu aku
merasa tertekan ketika teman-teman kelas tidak mau menerimaku di kelas, mereka menyangka
aku seorang teroris. Tapi dia, dia berbeda, dia malah membelaku. Sejak saat itu
aku bersahabat dekat dengannya, dan jujur aku mulai menyukainya. Tapi demi
Allah, secuilpun dia tak pernah menyentuhku.” Maryam menjelaskan semua rahasia
hatinya.
Hati Khaled berkecamuk, ia tak menyangka akan
dilibatkan dalam urusan hati yang pelik ini.
”Kau pernah jatuh cinta, Khaled? Maksudku,
sebelum kau jatuh cinta padaku?”
Khaled mengangkat wajahnya. Ditatapnya sekilas
wajah Maryam.
”Tidak, tidak pernah. Demi Allah, aku belum
pernah mengenal seorang wanita lebih dekat sebelum mengenalmu, Maryam. Yang aku
cintai hanya Allah. Dan aku selalu berdoa pada-Nya, agar Dia memberiku cinta,
memberikanku istri yang shaleha dan mencintaiku. Sejak ayah bilang aku akan dinikahkan
dengan seorang gadis selepas high school ini, dadaku bergetar. Aku tak
sabar untuk bertemu dengan gadis itu. Siang malam aku tidak bisa tidur
memikirkan seperti apa sosoknya. Ya, gadis itu kamu, Maryam. Setelah aku
melihatmu saat perkenalan itu, di rumah aku menangis di hadapanNya, karena aku
takut rasa cintaku padamu akan lebih besar dari pada rasa cintaku padaNya. Aku
tersiksa, Maryam. Aku kerap meneteskan airmata di sela-sela doa saat aku
menyadari bahwa aku sudah jatuh cinta padamu, Maryam.”
Hening.
”Apa yang harus aku lakukan?” tanya Khaled pada
Maryam.
Matanya berkaca-kaca.
”Aku tidak tahu, Khaled. Aku tidak tahu.” Ada
sesal di hati Maryam sebab ia telah menyakiti orang lain.
”Lelaki itu mungkin lebih baik dariku,” ucap
Khaled lirih.
Maryam terdiam.
”Kau tahu, apa yang membuat Nabi Muhammad saw
selalu tenang dalam menghadapi cobaan seberat apapun dalam hidupnya? Aku pernah
membaca sebuah buku, rahasianya cuma satu, Maryam, karena beliau selalu menjaga
kecintaannya pada Allah. Beliau tidak pernah melebihkan cintanya pada apapun
selainNya. Berhentilah menangis, jangan sampai cintamu itu membuat Allah
berpaling darimu, Maryam.” Khaled menasihati Maryam dengan lembut, tanpa
bermaksud mengkhotbahinya.
”Bantu aku, Khaled. Bantu aku agar aku bisa
lebih mencintai Allah dibanding yang lain. Aku sangat mencintai David. Tapi aku
ingin cinta ini tetap ada pada porsi yang benar.”
”Aku tidak bisa. Akupun masih belajar untuk
itu. Tapi kita bisa belajar, Maryam. Kita bisa memulainya dari diri sendiri
dengan niat.”
Maryam dan Khaled sibuk dengan pikirannya
masing-masing.
Maryam mulai bisa menerima nasihat dari Khaled. Ia resapi betul nasihat-nasihatnya.
Ayah David keluar. Ditinggalkannya David
sendirian di kamarnya agar ia tenang. Dalam kesendiriannya, David berdoa.
”Tuhan, kenapa jalan cinta ini begitu sulit? Tak ada wanita lain yang kucintai selain dia, Tuhan. Apakah aku harus berpaling dariMu, dan mencintai Tuhan yang disembah oleh Maryam? Hanya itu jalan satu-satunya agar aku bisa mendapatkan cinta Maryam, Tuhan. Apakah Kau akan marah padaku jika aku berpaling dariMu? Aku tahu, Kau yang menyelamatkanku, Kau yang mengantarkan aku pada ayah angkatku itu, hingga dia merawatku bersama biarawan-biarawannya, Kau yang mengurus aku, Tuhan. Tidak, Kau pasti akan marah besar padaku, Kau pasti mengatakan aku ini hambaMu yang tak berbakti. Ampuni aku, Tuhan. Ampuni aku. Jika Kau tak ingin aku menghianatiMu, hilangkan rasa cintaku terhadap Maryam. Aku mohon, karena sampai kapanpun Maryam tak akan pernah jadi milikku.” Tergugu David berdoa sambil memegang salib yang tergantung di lehernya.
Bab Tigabelas
Sementara itu, Maryam tampak tertegun mendengar penjelasan Khaled. Pandangannya kosong, lalu tiba-tiba pingsan lagi.
”Maryam... Maryam...!” Teriak Khaled panik.
Ia berinisiatif untuk memanggil ayah dan ibu Maryam di luar.
”Paman... Paman... Paman...!” Panggil Khaled.
Ayah ibu Maryam masuk dengan tergesa.
“Ada apa,
Khaled?” tanya ayahnya cemas.
”Maryam... Tadi dia sudah sadar lalu pingsan
lagi, Paman," ucap Khaled sedih.
Dokter pun datang untuk memeriksa Maryam.
”Putri Tuan terlalu stress, ia kurang darah
hingga mudah pingsan. Jangan biarkan ia terlalu banyak pikiran dulu.” Sang
dokter memberi nasihat.
Tak lama kemudian Anggel muncul. Ia meminta
izin pada ayah Maryam untuk melihat kondisi sahabatnya yang sedang terbaring.
Khaled melihatnya sekilas lalu
keluar bersama ayah dan ibu Maryam, membiarkannya berdua bersama Maryam.
”Maryam...” Dipandanginya sahabatnya dengan
perasaan sedih.
”David baik-baik saja, Maryam. Berjuanglah,
jangan lemah.” Digenggamnya tangan Maryam dengan erat, mencoba mengalirkan
kekuatan. Namun Maryam masih terpejam.
”Get well soon. We love you. (Cepat
sembuh. Kami menyayangimu.)” Ia berbisik di telinga Maryam lalu memutuskan
untuk keluar.
Di ujung ruang tunggu, Anggel melihat Khaled
menatapnya dari jauh dan berjalan menuju ke arahnya.
”Excuse me, could I talk to you? (Permisi,
bisa aku bicara denganmu?)”
Anggel melihat
Khaled dengan tatapan aneh.
”I’m Khaled.” Khaled memperkenalkan
diri.
”Kau... Khaled yang diceritakan Maryam?”
Anggel masih medugaduga.
Khaled
mengangguk.
”Well, I need your help (Aku butuh
bantuanmu). Bisa kau antar aku ke rumah David?" pinta Khaled.
Anggel merasa heran. ”David? What for? (Untuk
apa?)” Dalam hatinya ia bertanya-tanya, dari mana Khaled tahu tentang David.
Apa mungkin Maryam yang menceritakannya?
”Aku akan mengantarmu untuk menemuinya, tapi
aku minta kau untuk berjanji, jangan ceritakan pada David bahwa Maryam dirawat
di sini. Aku minta kau rahasiakan ini dari David dan Maryam. Kau bersedia?”
”Insya Allah. I promise (Aku janji),”
jawab Khaled mantap.
Anggelpun mengantarkan Khaled ke ruangan di
mana David dirawat. Saat Khaled tiba, Ayah David yang saat itu sedang
menjaganya sedikit terkejut melihat Khaled. Ia tidak bicara apa-apa, hanya
tersenyum lalu mempersilakan Khaled masuk.
Kini di ruangan serba putih itu hanya ada dia
dan David yang terbaring di tempat tidurnya.
”Assalamu’alaikum...” Khaled mengucap salam,
namun tiba-tiba ia merasa ucapan salamnya salah sasaran saat melihat tanda salib
menggantung di leher David. ”Sorry...” Khaled sedikit canggung menyadari
kesalahannya.
”Who are you? (Siapa kau?)” David
mengeryitkan dahi.
”I’m Khaled. I think Maryam has told you
about me, right? (Aku Khaled. Kurasa Maryam sudah bercerita tentangku,
kan?)”
David seakan
teringat sesuatu.
”Kau... Kau yang akan dijodohkan dengan
Maryam?” tanya David penasaran.
”Iya...” Khaled
menjawab sambil tersenyum.
”Bagaimana kondisi Maryam? Apa dia baik-baik
saja?” tanya David lagi.
Khaled teringat
janjinya pada Anggel.
“Yes, she’s fine (Ya, dia baik-baik
saja),” jawab Khaled singkat.
“Thanks God. I’m happy to hear that. (Syukurlah.
Aku senang mendengarnya.)” David menyunggingkan senyum.
“Bagaimana kau tahu tentangku dan
keberadaanku di sini? Ada perlu apa?” David mengungkapkan rasa penasarannya.
“Aku... Aku meminta temanmu untuk mengantarku
ke sini. Dia.. Oh, aku lupa menanyakan
namanya..” Khaled merasa bodoh dengan tindakannya sendiri.
“Semua sudah jelas, kau akan menikah
dengannya. Urusan apa lagi yang akan kau bicarakan denganku, Khaled?” David
terkesan sinis.
Khaled terdiam, dia juga masih bingung, Dia
hanya ingin mengenal sosok David saja sebenarnya.
“Kalau kau pernah jatuh cinta, kau pasti tahu
bagaimana perasaanku.” Pandangan David menerawang.
Khaled memandang wajah David penuh kesedihan.
“Kau tenang saja, aku tidak akan mengganggu
hubungan kalian. Hanya satu masalahku saat ini, dan aku butuh bantuanmu,
Khaled. Aku ingin kau membantuku untuk bisa melupakan Maryam. Kau bisa
membantuku?” David menoleh pada Khaled, meminta persetujuannya.
Khaled masih
bingung menanggapinya.
“Aku sempat berpikir untuk meninggalkan
agamaku agar aku bisa memiliki Maryam. Tapi, aku sangat mengimani agamaku,
Khaled. Aku takut Tuhanku murka,” ucap David lagi.
Khaled terhenyak mendengar ucapan itu, namun ia
masih diam.
“Kau tahu, Maryam sangat tertekan. Ayahnya
terlalu menekannya. Kau harus membahagiakannya kelak, Khaled. Buatlah dia
bahagia. Berjanjilah padaku.” Ditatapnya Khaled yang menunduk.
“Tapi Maryam tidak mencintaiku.” Ada nada
sesal dalam kalimat Khaled.
“Aku tahu, dia sangat mencintaimu, Dave. Tapi
aku tidak bisa menolak permintaan ayahku untuk menerima perjodohan ini,” lanjut
Khaled lagi.
David terdiam.
“Tidak, hanya kau yang pantas untuk Maryam.
Kau seiman dengannya.”
“Anyway, could you tell me about Islam,
your religion? (Ngomongngomong, maukah kau ceritakan padaku tentang islam,
agamamu?)” tanya David mencoba mengalihkan pembicaraan.
Khaled mengangkat wajahnya, ia terkejut sedikit dengan
pertanyaan itu.
“Islam?” tanya
Khaled memastikan.
“Yes, I wanna know it. Is it true that
Islam is closely related to terrorist as many people say. I mean, I completely
disagree. (Ya, aku ingin mengetahuinya. Apa benar islam terkait dengan
teroris seperti orang-orang bilang? Maksudku, aku benar-benar tidak setuju.)”
David tiba-tiba antusias membicarakannya.
“Kami diajarkan untuk saling kasih-mengasihi,
David. Bahkan dengan seorang yang tak seiman sekalipun, Nabiku mengajarkan
untuk saling menghormati. Kami tidak boleh melawan atau melakukan tindak
kekerasan, seperti perang. Jika kami tidak ditindas dan tidak diperangi, kami tidak
boleh menyerang duluan. Islam itu
mengajarkan kedamaian. Islam means peace (Islam berarti perdamaian).”
Khaled menjelaskan.
“Lalu kenapa ada banyak tindakan teror yang
kalian, maksudku pemeluk Islam, lakukan? Mereka yang mengebom..” David
mengedikkan bahu, ia masih belum puas untuk bertanya.
“Mereka bukan islam, percayalah. Jika mereka
melakukan kehancuran di muka bumi, bisa jadi mereka mengaku Islam, akan tetapi
mereka tidak mengikuti ajaran kami sesungguhnya, sebab Islam bukan agama
kekerasan,” jelas Khaled.
David terdiam.
“Kau membawa kitab sucimu, Khaled?” tanya David
lagi.
Kali ini Khaled tidak bisa menyembunyikan sisa
keterkejutannya.
“Ya, aku selalu
membawanya.”
“Bisa kau
pinjamkan padaku?”
“Pinjam?” tanya Khaled yang masih tak
percaya. Mimiknya seolah mengatakan ‘untuk apa?’
“Aku sangat mengimani agamaku, selamanya. Aku
hanya ingin tahu saja, karena Maryam selalu membaca kitab itu di kelas. Mm,
mungkin aku... aku bisa membahasnya dengan Maryam jika aku bertemu dengannya
nanti di sekolah. Hanya membahas, tidak akan jadi masalah, bukan? Tuhanku tidak
akan marah, aku yakin. Jangan khawatir, kami hanya berteman. Ya, hanya
berteman. Bukankah buku motivasi mengatakan jika ingin berteman dengan
seseorang harus mencintai apa yang dicintai temannya? Aku membaca buku itu dari
Jardon, dia sahabat baikku.”
Khaled memberikan Al Qur'an terjemahan dalam
Bahasa Inggris pada David. Al Qur’an terjemahan itu baru saja ia beli di Dubai.
Ia sengaja memilih dalam terjemahan Bahasa Inggris sebab ia ingin sekaligus
bisa menguasai secara penuh bahasa itu, dan ia selalu membawanya serta dalam
tas.
“Ini kupinjamkan padamu. Kau bisa kembalikan
kapan saja,” ucap Khaled tulus.
“Thanks. Akan kukembalikan secepatnya
begitu aku selesai membacanya.” David tersenyum penuh arti.
Entah kenapa, tiba-tiba Khaled merasakan
keakraban dengan
David. Di matanya, David adalah lelaki yang
baik, sangat baik. Satu hal yang baru ia sadari, ternyata cinta David terhadap
Maryam begitu besar. Mungkin melebihi cintanya sendiri terhadap Maryam. Tapi
bagaimanapun ia akan tetap menikahi Maryam. Meski ia sendiri tahu Maryam tidak
mencintainya, Khaled tak peduli. Khaled hanya berharap suatu saat nanti Maryam
akan mencintainya.
“Tuhan, aku hanya ingin membacanya saja. Aku
akan tetap mengimanimu selamanya. Aku mohon Kau jangan marah,” bisik David
dalam hati.
Khaled pamit pada David. Ia tidak sabar untuk
melihat kondisi Maryam lagi.
“Khaled..” panggil David sebelum Khaled membuka
pintu.
“Iya, Dave?”
Khaled menoleh.
“Jika aku seorang muslim, apakah kau akan
mengikhlaskan Maryam untukku?”
Sesaat Khaled terdiam. Lalu ia jawab dengan
mantap, “Jika memang Maryam sudah ditakdirkan berjodoh denganmu, aku ikhlas
karena Tuhanku.”
Khaled pun pergi melangkah keluar meninggalkan
kamar David. Ia tidak langsung menghampiri kamar inap Maryam yang beda beberapa
blok dari kamar inap David. Ia sengaja membelokkan langkahnya ke sebuah taman
rumah sakit itu dan mengambil tempat di dudukan semen yang menyerupai kayu.
Khaled mencoba menenangkan diri sejenak di tempat itu.
“Ya Allah, jika Kau berkenan menjodohkanku dengan Maryam, tumbuhkanlah benih cinta di hati Maryam untukku, yang tidak melebihkan cintanya padaMu. Tapi jika dia bukan untukku, buat hatiku ikhlas untuk melepasnya.” Khaled berdoa dalam hati.
Bab Empatbelas
Ayah Maryam terduduk sendirian di salah satu bangku di koridor rumah sakit dengan lesu. Ia masih memikirkan kondisi Maryam yang masih belum siuman dari pingsan, sementara sang ibu menemani Maryam sambil tak henti bibirnya melantunkan ayat-ayat Al-qur'an untuknya.
Seorang Pastur datang dan mengambil duduk di
samping ayah Maryam. Sang Pastur melempar senyum.
“Sedang menunggu keluarga yang sakit?” tanya
ayah Maryam basa-basi, mencoba memulai obrolan.
“Anak saya... dia sakit keras. Namun yang
paling aneh adalah sakit cintanya. Awalnya kondisinya membaik, tapi gara-gara
cintanya itu dia sakit lagi,” jawab pastur itu.
“Anak saya juga, penyakitnya juga bukan
penyakit biasa kata dokter.” Ayah Maryam berbagi kesah yang sama.
“Anak saya sedang jatuh cinta pada seseorang,
gadis itu tidak seiman dengan anak saya. Cintanya sungguh besar, padahal dia
masih remaja, tapi sudah seserius itu dalam mencintai. Remaja zaman sekarang
semakin aneh. Dokter yang merawatnya bilang bahwa obatnya hanya satu, cinta
itu. Tapi biar bagaimanapun mereka tidak akan bersatu.” Pastur itu menghela
nafas dalam. Ia merasakan beban di hatinya cukup berat.
“Masalah anak anda sama dengan masalah anak
saya. Dokter juga bilang begitu. Ini bukan sekedar sakit secara fisik, tapi psychosomatic,”
ucap ayah Maryam yang tidak menyangka bahwa ada orang lain yang memiliki
masalah yang sama persis dengan dirinya. Ia merasa tidak sendiri menghadapinya.
Ia merasa sedikit lega bisa berbagi.
“Saya tidak mengerti bagaimana caranya agar
anak saya bisa kembali pulih, saya sangat kasihan melihatnya.” Pastur itu
menggeleng lemah.
“Saya sendiri belum bisa menemukan solusi
untuk permasalahan ini. Andai saja lelaki itu seiman, mungkin saya ikhlas untuk
menikahkan mereka,” ucap ayah Maryam tak kalah bingung.
“Saya juga begitu. Tapi untuk keimanan, itu
sudah masalah pelik.”
Mereka lalu sama-sama terdiam, sibuk
memikirkan permasalahan anak mereka masing-masing.
“Senang berbagi cerita dengan anda, Tuan.
Saya harus kembali ke ruang inap lagi. It’s a pleasure to meet you here.
(Senang bertemu denganmu di sini.)” Ayah Maryam menjabat erat tangan sang
pastur.
“Yeah, me too. Saya doakan semoga anak
anda cepat sembuh.” Ayah David tak kalah erat menyambut jabatan di tangannya.
“Terima kasih, saya juga mendoakan anak anda.
Sampaikan salam saya untuknya,” ucap ayah Maryam sambil tersenyum.
“Salam juga untuk anak anda, Tuan.” Sejurus kemudian pastur itu berlalu meninggalkan ayah Maryam.
David terpekur dalam lamunannya. Sejujurnya
ia masih memendam rasa cemburu terhadap Khaled, namun sekuat tenaga ia tahan.
Ia merasa kesal pada dirinya sendiri, pada keadaan yang tidak bersahabat, pada
persoalan yang menguras tenaga dan pikirannya akhir-akhir ini. Tangannya
mengepal memukuli bantal lalu dihempaskannya hingga jatuh ke lantai, mencoba
melampiaskan kekesalannya. Sejurus kemudian ia menangis sesenggukan. Yang David
pikirkan hanya satu bahwa orang yang dia cintai akan menjadi milik orang lain,
dan ia baru saja mengenal orang itu.
“Aku tidak mau Maryam menjadi milik orang lain. Aku tidak rela!” Jerit David di tengah isaknya.
Khaled masih melamun di kursi taman itu, ia
ambil sebuah catatan kecil dan pena yang ia selipkan di kantong saku kemejanya,
lalu mulai menuliskan sesuatu di atasnya. Sebuah syair yang ia tujukan untuk Maryam.
Selama ini, Khaled begitu senang menuangkan perasaannya lewat bait-bait aksara,
dan entah sudah berapa lembar syair yang berhasil ia buat untuk Maryam, sejak
pertemuan keluarga itu.
Mungkin aku terlalu bodoh untuk mengerti
Mungkin aku tak sengaja juga menyakiti
Andai kau tahu isi hatiku
Andai kesempatan itu datang padaku
Sekarang mustahil bagiku
Bahkan menyentuh bayangmu, aku tak mampu
Sekarang aku terpuruk dalam jurang keraguan
Dan cinta ini jadi sesak dalam dadaku
Aku tau cinta ini fatamorgana bagimu
Tapi biarkan cinta ini aku miliki
Biarkan cinta ini menjadi bebanku
Aku tak peduli
Meski menghambat jalanku
Aku tau mencintaimu adalah tak pasti...
Pun begitu David, ia masih larut dalam kesedihan. Hatinya
lirih berbisik dalam isak tangis.
Maryam...
Mengejarmu ibarat mengejar embun untuk
mendapatkan tetesnya di udara, kau ibarat molekul-molekulnya yang bisa
kurasakan namun tak bisa kuraih dan kugenggam.
Bukan kau yang menyiksaku, Maryam.
Tapi keadaanlah yang memaksaku demikian.
Aku mati di sini.
Aku memang masih bernafas
Tapi jiwaku pergi dan hilang mengejar sosokmu
yang semakin menjauh.
Aku rapuh,
Serapuh bangunan-bangunan Romawi yang ditelan
oleh masa, namun dia tetap tegak.
Aku tak kuat, Maryam.
Haruskah aku pergi meninggalkanmu
Ke sebuah tempat di mana aku tak bisa lagi
memandang wajahmu, Maryam?
Haruskah?
Tapi semakin aku menjauh
Dan mencoba menghilang darimu
Jiwaku semakin dekat
Sedekat jari-jari yang tak pernah memisah.
Maryam...
Lihatlah aku disini!
Aku bahkan kehilangan harga diri
Untuk menjadi seorang lelaki.
Aku lemah
Menangis dan larut dalam keibaan yang
panjang...
Sampai kapan, Maryam?
Sampai kapan...
Sampai bumi hancur
Dan langit digulung-gulung
Bagai gulungan kertas
Seperti yang diceritakan di dalam Al Qur'anmu
itu?
Aku tak mau..
David semakin terisak.
Aku semakin lemah...
Sangat lemah, Maryam.
Selemah Adam yang tergoda untuk makan buah
Khuldi oleh syaitan ketika di surga.
Kau tahu cerita itu, bukan?
Aku ingin bersamamu.
Aku ingin bercerita tentang ayat-ayat
Al-Qur'an yang kupijam dari lelaki yang sebenarnya sangat kubenci
Tapi dia tidak bersalah.
Aku tak boleh menyalahkannya.
Maryam, aku tak kuasa melupakanmu.
Aku tidak mampu untuk itu.
Melupakanmu ibarat menguliti kulitku sendiri.
Sakit... rasanya sangat sakit...
Aku lemah...
Sekarang bertambah lemah...
Semakin lemah...
Apa yang harus aku lakukan, Maryam?
Matikah?
Kurasa memang aku harus mati, Maryam.
Agar kisah ini berakhir.
Ya... berakhir...
Karena kutahu kau tercipta bukan untukku.
Bu.. kan.. un.. tuk.. u...
Tiba-tiba saja David kembali tak sadarkan diri.
Bersamaan dengan itu, ayahnya kembali. Dan
betapa terkejutnya sang ayah saat mendapati kamar anaknya berantakan dengan
bantal tergeletak di lantai.
”David... David...
David... Bangun, Nak! Bangun..! Dokter.. Dokter..!”
Digoyang-goyangkannya tubuh David. Dengan tergesa ia keluar memanggil dokter
untuk memeriksa kondisi anaknya.
Pastur itu menangis di luar kamar. Tangannya
bertumpu pada tembok, mencoba menahan limbung tubuhnya. Kali ini ia betul-betul
mengkhawatirkan kondisi putranya itu. Putra yang begitu ia cintai, meski bukan
dari darah dagingnya sendiri. Putra yang telah ia cintai sejak ia temukan
tergeletak di depan gerbang gereja dengan kulit masih merah.
Pintu kamar itu terkuak. Dokter keluar dan
mengajak sang pastur bicara serius.
”Tubuhnya sangat lemah. Dia terlalu stress.
Jika terus-menerus memikirkan masalahnya, kondisi David akan semakin parah.”
Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Dipegangnya pundak sang pastur untuk
sekedar mengalirkan kekuatan.
Pastur itu tertegun di samping putranya yang
masih pulas dengan selang oksigen bergelayut di hidungnya. Ingatannya kembali
pada kejadian beberapa tahun silam, saat ia pertama kali menjadi ayah. Betapa
bahagia perasaannya kala itu, mendapati David kecil bergerak lincah dan
berceloteh riang menggumamkan panggilan paling dahsyat di telinganya: ”Ayah”.
Kata yang membuat hatinya bergetar haru tiap kali mengingatnya.
”Kuatkan hatimu, Nak. Jangan lemah. Bukankah
dulu kau ingin menjadi super hero seperti tokoh-tokoh komik yang ayah
belikan untukmu? Kau ingat, kan, Dave? Saat kecil, kau sangat ingin menjadi Superman
yang membantu orang-orang lemah dan menegakkan keadilan di muka bumi. Ayo
jangan lemah, kuatkan dirimu. Kau akan membawa ayah terbang dengan sayap
merahmu mengelilingi dunia. Kau sudah janji pada ayah. Ayah ingin kau tepati
janji itu. Bangunlah, Nak. Kau satu-satunya yang ayah miliki, kau satu-satunya
harapan ayah, penerus ayah. Ayah tidak ingin kehilangan kamu, Dave. Jangan
tinggalkan ayah.” Diusapnya airmatanya yang berlelehan di pipi.
”Bangunlah, Nak. Pinokio merindukanmu. Ia ingin ikut ayah menjengukmu, tapi di sini tidak boleh membawa binatang peliharaan. Dia rindu berlari-lari denganmu, Dave. Tidakkah kau rindu juga padanya?” Pastur itu mencoba mengajaknya bicara, seolah putranya bisa mendengar. Sesekali dielusnya kening David dan diciuminya penuh kasih.
Maryam masih pingsan. Ayahnya duduk di
samping ranjangnya dengan gelisah. Sementara ibunya masih setia melantunkan
firman Tuhan dalam kitab sucinya.
”Aku ingin menemui lelaki yang membuat anakku
seperti ini!” Ujar ayahnya memecah suasana.
Ibunya menghentikan aktivitas membaca Al
Qur'annya, ia menoleh ke arah suaminya. Ia tak berbicara sepatah katapun.
”Cinta seperti apa ini, Khadijah?” ayahnya
bertanya sedikit geram.
Istrinya masih
diam.
”Sepertinya kita dulu tidak seperti ini.
Biasa saja dalam urusan cinta. Tapi kenapa Maryam sangat membebankannya? Apa
yang harus aku lakukan, Khadijah? Aku tidak tahu, demi Allah aku tidak ikhlas
dan tidak rela jika orang Amerika itu menjadi suaminya kelak. Aku tidak mau,
Khadijah. Aku tidak mau anak kita tersesat.” Ayahnya semakin putus asa.
Ibu Maryam mencoba menenangkan suaminya
sambil merangkul pundaknya, ”Sudahlah, Sayang, kita berdoa saja padaNya.
Biarkan Dia yang menyelesaikan urusan pelik ini.”
”Aku harus keluar, aku ingin bertemu dengan
anak itu.” Dengan tergesa ia beranjak dari tempat duduknya, kemudian berlalu
meninggalkan anak dan istrinya. Tak dihiraukannya sang istri yang berusaha
mencegah langkahnya. Sebelum berbelok di ujung lorong, ia berpapasan dengan
Anggel yang membawa sekotak buah untuk Maryam.
”Kau tahu di mana rumah lelaki yang membuat
Maryam sakit begitu?” tanya ayah Maryam pada Anggel.
Anggel menunduk, ia merasa sedikit ketakutan.
Akhirnya ia terpaksa memberitahukannya pada ayah Maryam.
”Dia ada di rumah sakit ini. Kalau mau
bertemu dia, saya bisa antarkan Bapak ke sana.” Anggel menjawab sedikit ragu.
”Dia ada di rumah sakit ini? Cepat antarkan
saya ke ruangannya.” Ayah Maryam tidak sabar.
Anggel menunjukkan kamar rawat inap David,
sementara ayah Maryam mengikutinya dari belakang Anggel. Dalam hati Anggel
merasa takut kalau ayah Maryam akan berbuat nekat pada sahabatnya itu. Ia
berdoa sepanjang jalan menuju kamar inap David.
Tiba di depan pintu, Anggel mengetuk dengan
hati-hati. Seorang biarawan membuka pintu kamar rawat inap itu. Ayah Maryam
tersenyum, sementara biarawan itu memandang aneh,
namun tak ayal dia
mempersilakannya masuk juga.
Ayah Maryam terkejut saat melihat pastur yang
sesaat tadi sempat berbicara dengannya di ruang tunggu, sedang duduk di sisi
seorang anak lelaki remaja yang terbaring tak berdaya.
Reaksi serupa juga ditunjukkan oleh sang
pastur. Dalam hatinya masih bertanya-tanya.
”Anda ada di sini, Tuan. Ada yang bisa saya
bantu?” sang pastur mencoba tersenyum.
”Aku ingin bertemu dengan seorang anak yang
membuat anakku menderita.” Ayah Maryam berkata tegas.
Pastur itu baru menyadari bahwa yang
diajaknya bicara tadi adalah ayah yang membuat anaknya, David, menderita.
Kemudia ia berdiri, mendekat ke arah ayah
Maryam, memandang wajahnya dengan nanar.
”Anda ingin bertemu dengan anak lelaki yang
membuat putrimu menderita, Tuan?” pastur itu sekuat tenaga menahan gejolak di
hatinya.
Ayah Maryam hanya diam, seolah sudah paham
kondisi anak lelaki itu juga sama seperti putrinya, belum sadarkan diri. Anak
lelaki itu tak lain adalah putra sang pastur.
”Lihatlah, dia berusaha berjuang untuk
melupakan putri anda,
Tuan,” ujar ayah David pilu.
Ayah Maryam
masih terdiam.
”Anda ingin memarahinya? Anda ingin
menyuruhnya pergi jauh dari kehidupan anak anda? Dia sudah melakukan semuanya.
Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti apa yang anda mau, Tuan.”
Disusutnya airmatanya yang terus mengalir deras.
Ayah Maryam mendekat ke arah David. Ia
pandangi wajahnya lekat. Hatinya terenyuh melihat kondisi David yang kurus, lingkar
matanya menghitam dengan wajah pucat seolah sedang menahan beban berat. Ia
pandangi lagi wajah David yang diam seperti sedang lelap tertidur, namun masih
menyiratkan mimik kesedihan.
”Wajah anak ini tampan. Sangat tampan. Namun antara dia dan Maryam ibarat air dan minyak, mereka tidak akan mungkin bisa saya satukan. Saya tidak akan mungkin melakukannya. Tapi saya yakin dia akan mampu melaluinya. Begitu juga dengan Maryam. Saya percaya itu.” Ayah Maryam mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tidak lama, ia memohon diri untuk pamit. Ayah David hanya menanggapinya dengan diam. Dalam benaknya juga memikirkan kata-kata yang tadi diucapkan ayah Maryam.
Bab Limabelas
Di lorong rumah sakit itu, Khadijah, ibu Maryam, sengaja menunggu suaminya untuk membicarakan sesuatu.
”Sudah bertemu dengan anak itu?” tanya
istrinya.
”Sudah,”
jawabnya singkat.
”Sudah puas? Sudah puas membuat semua ini
menjadi kacau?” istrinya berujar menyindir.
”Maksudmu? Kenapa kau marah padaku, Sayang?”
ayah Maryam heran dengan sikap istrinya.
”Semua ini
salahmu,” jawabnya.
”Salahku? Di mana letak salahku? Tindakanku
sudah tepat,
Khadijah. Anak itu tidak seiman dengan kita.”
Ayah Maryam membela diri.
”Selama ini aku sudah cukup untuk diam,
Ishak. Selama ini aku merasa sudah menjadi istri yang baik bagimu, selalu
menuruti titahmu. Tapi kurasa sikapku tidak sepenuhnya benar, sebab aku juga
punya hak untuk bicara dan ikut andil dalam menyelesaikan masalah keluarga
kita.” Istrinya sedikit teriak.
”Apa yang salah? Jelaskan!” Sang suami tak
kalah teriak.
”Kau terlalu mengekang Maryam. Dia jenuh dan
merasa seperti robot yang harus menuruti semua maumu. Maryam punya jiwa,
biarkan jiwanya mengisi kehidupan ini tanpa terlalu dikekang. Apa kau tidak
sadar?
Coba hitung berapa banyak cinta yang kau beri
dibanding amarah, kekangan dan keegoisanmu padanya? Mana yang paling banyak?
Cinta atau keegoisanmu?” ucap Khadijah sambil menangis.
”Maryam membutuhkan cinta. Dan itu tidak dia
dapatkan dari kita, sebab dia sendiri tidak pernah mengerti mana cinta atau
keegoisan. Yang dia tahu hanyalah keegoisan kita. Hingga saat dia temukan
seseorang yang peduli dan sayang padanya, seperti inilah jadinya. Kita yang
seharusnya berintrospeksi diri,” lanjut Khadijah lagi masih dengan isaknya.
”Ini bukan masalah keegoisan, Khadijah.
Bukan. Tapi ini masalah jalan hidupnya kelak, masa depannya di hadapan Allah
nanti. Aku tahu aku bukan ayah yang baik. Aku sudah gagal menjadi ayah, aku
tahu itu, tapi aku hanya ingin berada dijalanNya, Khadijah. Hanya itu.” Ishak
ikut menangis.
Khaled yang mendengar perdebatan itu sebelum
memasuki belokan bangsal tempat Maryam dirawat, hanya terdiam. Ia tidak
bermaksud menguping pembicaraan kedua orangtua Maryam, tapi tak ayal ia ikut
mendengarnya juga. Ia tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
”Aku ingin anakku sembuh, Ishak. Aku ingin
dia terlepas dari masalah ini. Aku tidak mau kehilangan anak lagi. Cukup sudah
Asiyah yang pergi, aku tidak mau kali ini Maryam juga pergi karena keegoisan
kita.” Khadijah terduduk lemas di kursi tunggu yang berada di dekatnya.
”Maksudmu, kau ingin agar aku mengizinkan
hubungan cintanya dengan remaja Amerika itu?” tanya Ishak pada Khadijah.
Mendengar percakapan itu, hati Khaled
terhenyak.
”Aku tidak tahu, Ishak. Aku tidak tahu. Yang
jelas aku tidak ingin Maryam pergi.” Khadijah semakin kalut.
”Jangan salahkan aku, Khadijah. Kumohon,
jangan. Kau tahu betapa aku sangat mencintai Maryam. Kau juga tahu betapa aku
sangat terpukul ketika Asiyah meninggal.” Ishak memohon, memegang erat tangan
istrinya, tapi hatinya tetap kukuh, ia tidak akan pernah mengizinkan David
memiliki Maryam. Tidak akan pernah.
Khaled masih terdiam di balik dinding belokan lorong itu, air matanya menetes.
”Pak.. Bu..! Maryam..! Sesuatu terjadi pada
Maryam..!” Teriak Anggel yang tiba-tiba menghampiri dengan nafas
tersengal-sengal, sejak tadi dia mencari ayah dan ibu Maryam.
”Ada apa dengan Maryam?” ayah Maryam bertanya
ikut panik.
”Kondisinya semakin lemah, ia seperti dalam
keadaan sekarat, sekarang dokter sedang membantu pernafasannya.” Anggel
bercerita sambil terisak.
”Maryam....!” Ayah Maryam panik, mereka
langsung berlari ke kamar rawat inap Maryam.
Khaled yang sejak tadi mendengar pembicaraan
mereka, tak kalah panik. Ia ikut berlari ke arah kamar rawat inap Maryam.
Seorang dokter dan dua perawat sedang
menangani Maryam. Selang oksigen telah terpasang pada rongga hidungnya. Dua
alat yang dipegang oleh dua tangan dokter itu diletakkan di dada Maryam. Saat
alat itu ditempelkan di dada Maryam, tubuhnya seakan terangkat dengan
hebat.
”Maryam... Maryam... Ada apa denganmu, Nak?”
teriak Ibunya.
”Maaf, kami mohon semua keluar dulu.” Salah
seorang perawat menyuruh mereka untuk keluar.
Sambil bersandar di bahu suaminya, Khadijah
berjalan keluar dari kamar Maryam dengan terisak. Khaled dan Anggel ikut di
belakang mereka.
Pintu kamar itu lalu tertutup rapat. Khaled
dan Anggel terdiam menyimpan kesedihan yang mendalam. Pandangan mereka terus
tertuju pada pintu kamar Maryam yang berwarna putih itu, berharap sang dokter
segera keluar dan mengabarkan bahwa Maryam baik-baik saja.
”Tenanglah, istriku, Maryam akan baik-baik
saja. Kita doakan saja.” Ayah Maryam mencoba menenangkan istrinya.
Ayah dan ibu Maryam masih menunggu di depan
pintu kamar rawat inap Maryam. Mereka tak henti berdzikir dan berdoa agar
Maryam kembali pulih, sementara Khaled terus melantunkan ayat demi ayat untuk
Maryam.
Anggel menyusut air matanya. Ia teringat
kejadian sebelum Maryam sekarat. Saat itu Anggel tengah sendirian menungguinya,
sementara kedua orang tuanya masih di luar, Khaled pun tak ada entah ke mana.
Anggel melihat tubuh Maryam bergerak-gerak hebat, lalu tiba-tiba membuka
matanya dan berteriak memanggil-manggil nama David.
“Maryam, kau kenapa?” tanya Anggel panik kala
itu.
“Aku bertemu David. Aku bertemu dia. Dia
mengajakku pergi, Anggel!” Ucap Maryam yang sudah sadar saat itu.
“Pujilah nama Tuhanmu, Maryam, dan tenangkan
dirimu,” kata Anggel mengusap keningnya.
“Ambilkan aku kertas dan pena, Anggel. Aku
ingin menulis surat untuk David,” pinta Maryam.
Anggel mengambil buku dari tas sekolahnya.
“Tuliskan untukku, Anggel,” pinta Maryam lagi.
”Baiklah, akan
aku tuliskan untukmu,” jawab Anggel.
Maryam mulai berkata sesuatu dan Anggel
menuliskannya di atas kertas itu,
David...
Apa
kabarmu? Aku di sini baik-baik saja.
Sampai di sini, Anggel langsung menangis.
Kemudian ia cepat menyusutnya, tidak ingin Maryam mengetahuinya. Lalu ia
kembali menulis saat Maryam melanjutkan kalimatnya.
Adakah
kau merindukan aku?
Jalinan kisah telah kita lalui penuh
tangisan, tapi aku bahagia, Dave.
Bahagia telah mengenalmu,
Bahagia meski baru sehari kurasakan ketika
bersepeda denganmu.
Bersepeda mengelilingi kota New York
bersamamu.
Belum pernah aku merasakan kehebatan cinta
sedahsyat itu.
Hidup di rumah membuatku menderita, Dave.
Kadang aku membenci keadaan,
Kadang aku ingin seperti burung yang terbang
bebas tanpa ada yang mengekang,.
Tapi meski hidup bebas, burung-burung itu
selalu memuji nama Tuhan tiada henti.
Aku tahu karena Tuhan mengabarkan bahwa
seluruh makhluk berdzikir pada-Nya.
Aku ingin seperti itu...
Aku
tak mau melupakanmu lagi, Dave.
Melupakanmu membuatku sakit,
Membuat dadaku sesak dan lemah tak berdaya...
Maryam semakin terisak, sementara Anggel
terus menulis sambil mengelap air matanya.
Aku
ingin selalu mencintaimu
Meski
perbedaan menghalangi kita
Meski kita tak akan bisa saling memiliki
Dan meski raga ini telah menjadi milik orang
lain...
Tahukah kamu apa yang kurasakan ketika aku
membiarkan cinta ini tumbuh?
Aku bahagia, sangat bahagia...
Dalam
ketidak sadaranku,
Aku dengar kau memanggilku, Dave
Mengajakku berkeliling ke sebuah tempat di
mana aku belum pernah melihatnya,
Kulihat kau mengenakan sutera hijau, Dave.
Aku ingat dari kelembutan sutera itu
Aku masih bisa merasakannya.
Kau ingin mengajakku hidup di tempat itu
Bagai Adam dan Hawa.
Hanya berdua...
Tapi
seseorang menarik tanganku untuk membawaku pergi.
Aku tidak mau berdua di tempat itu, Dave.
Maryam terisak lagi.
Aku
sedih.
Bawa
aku, Dave.
Bawa aku ke tempat itu lagi.
Aku tidak mau di sini...
Aku tak mau sedih memikirkanmu lagi...
Aku tak mau hidup tanpamu, Dave.
Aku
tak mau bertemu ayahku lagi.
Menyadari keberadaannya membuatku semakin
lemah karena dia tak akan pernah merestui kita.
Aku
mencoba mengikuti ajakan Khaled untuk belajar lebih mencintai Tuhan dibanding
yang lain.
Aku sudah mencoba berdzikir dan memuji
Nama-Nya, tapi tetap tak bisa.
Aku
ingin pergi dari dunia ini jika di alam sana aku bahagia bersamamu.
Jemput aku, Dave. Aku menunggumu di sini
Aku menunggumu...
Mungkin kau bisa menjemputku dengan
sepedamu, membawa anjing kesayanganmu
dan aku akan membawa Zahara, kucing putihku itu.
Kau pernah bilang bahwa suatu saat nanti kita
akan hidup bersama dengan hewan peliharaan kita.
Iya, di lapangan basket itu Aku selalu ingat
kata-katamu...
Buktikan, Dave!
Buktikan kata-kata itu jika kau benar-benar
sayang padaku.
Aku tak mau seperti kupu-kupu yang singkat
hidupnya menikmati indahnya bunga-bunga di taman gerejamu.
Aku tak mau seperti pelangi yang hanya
sekejap memberikan warna indahnya lalu hilang.
Aku
tak mau seperti pohon di musim gugur yang menerbangkan dedaunannya lalu tumbuh
lagi di musin semi.
Aku
ingin seperti bunga Edelweish
Yang takkan layu meski dipetik.
Aku ingin seperti benua antartika yang
salju-saljunya tak pernah mencair.
Aku ingin seperti hutan tropis yang
pepohonannya selalu hijau tak kenal musim gugur ataupun semi.
Aku
ingin bersamamu selalu... dan selamanya...
Bawa
aku pergi, Dave!
Kumohon...
Jemput aku!
Kita akan bersepeda jauh ke sana,
Menembus langit,
Menembus bintang-bintang,
Meninggalkan dunia ini Ya, meninggalkan dunia ini...
Selamanya...
Anggel menangis hebat. Sementara itu, Maryam
semakin lemah. Ia jadi susah bernafas, kemudian pingsan dan tak sadarkan diri
lagi.
-- Bersambung --
Traktir kopi Buat Author?
BANK BCA 0551802468
DANA/OVO/GOPAY 081221817373
Post a Comment