Suamiku Lemah Syahwat


Blurb
Semenjak pernikahannya, Dara belum merasakan nikmatnya hubungan biologis suami istri, seperti yang sering teman-temannya ceritakan kepadanya. Semua karena senjata rahasia milik suaminya tidak berfungsi. Dara pun mulai mencari petualangannya sendiri.



Suamiku Lemah

”Nyonya! Tuan sudah menunggu!” Bi Lastri mengeraskan suaranya setelah mengetuk pintu kamar. Di dalam kamar, Dara menarik napasnya perlahan, lalu membuang udara yang berdesakan di dalam dadanya dengan sedikit gusar. Sesaat kemudian, ia tampak terdiam dan melemparkan pandangannya jauh ke sebelah utara lewat jendela.

”Suruh makan duluan saja, bi! Aku mau tidur lagi. Aku masih ngantuk! Katakan padanya, ya bi!" Sahut Dara. Nadanya masih terdengar kesal, menahan geram dalam hati.

Mendengar nada bicara majikannya yang ketus seperti itu, bi Lastri hanya menganggukan kepala tanpa menjawab sepatah kata pun. Dalam hatinya bertanya seperti  orang yang kebingungan, "tadi malam, tidak mendengar ada pertengkaran ... ada apa, ya?” bisik hatinya bertanya keheranan.

Rasa penasaran dalam hati, membuat bi Lastri berbincang dengan dirinya sendiri, "Mereka memiliki rumah besar dan mewah. Mobil masing-masing punya satu, isi rumah penuh dengan barang-barang mewah, masih saja ada pertengkaran? Apakah ada selisih paham? Cemburu? Hmm ... atau soal itu!? Iya benar, pasti soal itu. Namanya juga pengantin baru, mungkin benar soal itu,” sambung hati bi Lastri sembari tersenyum kecil dan menggaruk kepalanya, lalu sedetik kemudian ia tampak menggelengkan kepalanya pelan-pelan. Dengan segera menepis segala pertanyaan dalam diri, lalu berjalan ke arah Guntur, -Suami Dara- bermaksud untuk menyampaikan pesan yang disampaikan dari  Dara barusan.

Di teras halaman belakang rumah, Guntur tampak sedang duduk termangu menunggu istrinya dengan gelisah. Tatapan matanya menerawang kosong ke arah taman di halaman belakang rumahnya yang luas dan mewah.

”Maaf Tuan,” panggil bi Lastri pelan.

Guntur memutarkan kepalanya, lalu menatap ke arah bi Lastri dengan kurang semangat. Walaupun ia sudah menebak apa yang akan dikatakan oleh Bi Lastri, Guruh tetap melemparkan pertanyaannya, "iya, ada apa bi?" tanya Guntur.

”Kata Nyonya, Tuan makan saja duluan. Nyonya masih ngantuk, mau tidur lagi.” Ucap bi Lastri hati-hati menyampaikan pesan yang dikatakan Dara kepadanya sembari menganggukkan kepala ke arah Guntur dengan penghormatan, walaupun Bi Lastri  sudah dianggap keluarga sendiri, bi Lastri tetap selalu merasa segan kepada majikannya itu.

Guntur yang sedari tadi duduk termenung memikirkan kondisi dirinya yang melemah akhir-akhir ini, semakin terlihat lesu mendengar pesan itu. Ia seakan sudah tidak lagi mempunyai semangat hidup, menjalani hari demi hari dengan setumpuk kegelisahan dalam diri.

"Hmm, duluan?!” ketus Guntur.

”Iya, Tuan,” sahut bi Lastri menganggukkan kepala.

Guntur membuang napasnya kencang, seakan ingin melemparkan segala kekesalan hatinya jauh ke ujung sana, membuangnya lalu mengutuk diri sendiri yang tidak bisa memberikan nafkah batin kepada istrinya semenjak mereka menikah 3 bulan yang lalu.

Lalu sedetik kemudian, ia tampak menegakan punggungnya, berusaha untuk bersikap normal, seolah semuanya baik-baik saja. Guntur tidak ingin assisten rumah tangganya yang sudah ikut dengan keluarganya semenjak ia kecil itu bertanya-tanya dalam hati tentang masalah yang menimpa rumah tangganya.

Guntur pasti akan merasa malu jika bi Lastri mengetahui masalah yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tangganya yang baru seumur jagung itu. Harga dirinya sebagai lelaki dipertaruhkan.

”Baiklah Bi, terima kasih. Kerjakan saja dulu pekerjaan lain, ya! Nanti, biar saya sarapan sendiri.” ucap Guntur akhirnya pasrah.

Bi Lastri mengangguk, lalu kembali ke belakang.

”Sial!” bentak Guntur dalam hati, lalu memukul pelan tepian meja taman dengan kesal. Setelah Bi Lastri kembali ke ruang belakang, Guntur semakin gelisah, ia kembali mengerang dalam hati, ”kenapa penyakit ini tiba-tiba menyerang, sih? Mendadak layu, lemah seakan tidak lagi bertenaga. Kemana Guntur yang dulu gagah?! Argh! Sial” Guntur mengangkat kepalanya sembari menggerutu pelan, menatap area taman dengan hati yang hancur lebur, lalu kemudian kembali berkata dengan gusar dalam hati, “Padahal, aku masih ingat, aku dulu adalah lelaki gagah yang paling kuat main dengan wanita panggilan manapun. Aku ingat benar itu. Aku bisa main sampai tiga kali dalam satu malam. Tongkat pusaka milikku selalu keras, tidak pernah kendor seperti ini, kenapa sekarang mendadak lemah?!” keluhnya dalam hati, kembali mengutuk diri sendiri sembari mengingat semua tentang masa lalunya yang selalu dipenuhi hasrat dan gairah yang bergejolak hebat di setiap waktu.

Entah sudah berapa kali ia menghela napas yang mulai terasa berat itu, Guntur terlihat semakin gelisah, sepiring sarapan pagi di depannya sama sekali tidak memberinya selera untuk menghabisinya, bahkan satu sendok pun tidak ia sentuh.

Beberapa menit kemudian, Dara akhirnya mau turun dari tempat tidur dan menghampiri suaminya. Dengan suaranya yang terdengar malas, Dara berkata pelan, ”berangkatlah, hari sudah mulai siang, nanti Papa terlambat lagi seperti kemarin!”

Guntur masih tetap diam tak menjawab. Kepalanya tertunduk memandangi lantai dengan lesu. Tiba-tiba Dara merasa iba, bagaimanapun Guntur adalah suaminya, ia tidak sampai hati melihatnya setiap hari selalu terlihat frustasi seperti itu.

Dara kembali membuka mulutnya, berusaha terdengar tenang, ”Cari obat yang mujarab! Mudah-mudahan bisa sembuh, aku tidak mau seperti ini terus!” ucap Dara, sedetik sebelum melanjutkan, ia terdiam sejenak, memandangi suaminya dengan sedikit putus asa, “Tetapi, kalau masih tetap begini saja, bagaimana? aku tidak sanggup ….” ucap Dara lemah. Ia tampak sengaja menanyakan hal itu kepada suaminya, seolah ingin menegaskan kembali perihal status hubungan mereka sebagai suami istri jika kelemahan Guntur masih belum juga bisa ia atasi.

Guntur mengangkat kepalanya perlahan, memandang sekilas ke arah Dara, senyum di wajahnya tampak bias tak berwarna. Gerakan tubuhnya pun terlihat tidak bersemangat, memaksakan diri untuk bangkit berdiri. Lalu perlahan Guntur berjalan pelan ke arah istrinya sembari berkata, ”Baiklah ...” ucapnya, terdiam sesaat, lalu kembali berucap dengan perasaan yang tidak menentu, "kalau tidak berhasil, Mama boleh berbuat apapun, terserah Mama! Papa ikhlas, tapi Papa yakin akan berhasil, Ma! Papa ini dulu sangat gagah! Papa harap Mama mau bersabar menunggu beberapa waktu lagi, ya ...." Lanjutnya dengan suara yang terdengar sedikit putus asa.

Dara terdiam, larut dalam pikirannya sendiri. Ia merasa tidak ingin menjawab apa-apa. Dalam hatinya masih merasa jengkel, ia selalu kelelahan sendiri. Sampai dini hari tadi, ia sudah susah payah berusaha menggerakan alat reproduksi suaminya agar dapat berdiri tegak. Tetapi alat vital milik suaminya itu seakan sudah tidak lagi berfungsi. Rusak, layu dan tidak lagi bertenaga.

Bahkan, bibirnya terasa semakin menebal, mengoperasikan alat vital suaminya masuk dan keluar di dalam mulutnya. Bibir Dara terasa kembung dan membengkak, lidah pun terasa kelu saking keseringan bermain dengan tongkat pusaka suaminya. Tetapi hasilnya tetap saja nihil.

Seperti pada saat malam pertama di hari pernikahan mereka, Dara merasa sangat kecewa, menemukan kenyataan bahwa tongkat pusaka suaminya ternyata lumpuh, tidak mampu lagi untuk bekerja.

Bagaimana Dara tidak merasa kecewa, ia adalah wanita sehat yang mempunyai gairah yang sama seperti manusia normal lainnya. Ia membutuhkan kehangatan yang dapat memuaskan hasrat biologisnya, seperti yang sering diceritakan oleh teman-teman wanitanya yang sudah menikah.

Untuk apa menikah jika ia tidak dapat merasakan bagaimana rasanya berada di puncak klimaks. Seperti apa indahnya sensasi dan getaran hebat dalam dada yang meletup kencang saat libidonya meledak. Semenjak mereka menikah, Dara belum pernah merasakannya lagi, bagaimana ia tidak merasa kecewa dan frustasi.

”Baiklah, Ma, Papa pergi dulu,” ucap Guntur memecahkan keheningan di antara keduanya. Guntur lalu mengecup kening Dara dengan lembut, membalikkan tubuh dan berlalu menuju ke pelataran parkir depan rumah, bersiap untuk pergi.

Langkahnya terlihat gontai, seakan membawa sejuta penderitaan di pundaknya. Sebuah beban yang jarang ditemui insan sejenisnya.

Dalam hati Guntur bersikeras untuk lebih gencar mencari obat yang mujarab demi kelangsungan hidup rumah tangganya. Beberapa hari ini, tanpa sepengetahuan Dara, Guntur giat mencari informasi tentang masalah ini hingga ke pelosok-pelosok daerah se-Nusantara, namun belum mendapatkan yang benar-benar mujarab.

“Huuffftttt … semoga Gandi secepatnya mendapatkan informasi mengenai masalah yang aku hadapi sekarang ini. Aku kasihan melihat istriku, berapapun biaya yang harus aku keluarkan, aku akan menyanggupinya! Ergh!” Guntur tampak sangat kesal. Masalah ini bahkan sampai mengacaukan konsentrasi kerjanya selama beberapa bulan ini.



Melakukannya Sendiri

Jam dinding di kamar berdering kencang satu kali. Dara yang tampak masih terlelap dalam nyenyak tidurnya tersentak seketika.

Dengan gerakan pelan ia duduk dan bersila di atas ranjang sembari menguap dan mengusap wajahnya beberapa kali.

”Sudah siang ...” bisiknya dalam hati, kedua matanya tampak melihat ke arah pintu yang masih tertutup dengan rapat.

Dara terdiam beberapa detik, membawa terbang alam pikirnya untuk sejenak. Perasaannya masih terasa kisruh tak menentu.

Rasa penasaran yang mengganjal masih mendekam dalam hati seolah tidak pernah pergi dan terlepas, selalu menghantui jalan pikirnya.

Hasrat yang terpendam dalam dada selalu mengganggu hari-harinya. Semua khayalan tentang nikmatnya penyatuan diri antara suami istri yang baru saja menikah, seakan menjadi satu hal yang mustahil baginya.

Seharusnya, saat ini mereka sedang menikmati masa-masa bulan madu dengan hasrat yang membara dalam dada, memompa andrenalin dengan kencang, seperti layaknya pasangan suami istri yang baru saja menikah. Tetapi yang terjadi hanya sepi.

Dara sangat kecewa, gairahnya tidak pernah dapat dipenuhi oleh suaminya. Ia merasa gagal menjadi wanita yang seutuhnya. Hasrat yang setiap hari terkumpul semakin menumpuk terasa mengganjal, menghalangi aliran darahnya. Ia merasa semua ini harus segera disalurkan.

Tiba-tiba, ingatannya tertuju pada satu peristiwa. Suatu ketika, ia dan temannya pernah menonton sebuah film dewasa di rumah Wita. Sebuah film, yang menceritakan tentang sepinya hati seorang istri yang tidak pernah mendapat kepuasan biologis dari suaminya, ”Hmmm, iya, ya!"  pikir Dara dalam hati , ”tak berbeda dengan yang aku alami ...” desisnya dalam hati.

Dara tampak menganggukan kepalanya berkali-kali, ”satu-satunya jalan, hanya dengan menggunakan jari ... atau, alat bantu? glek! Ah, sial! Aku tidak memiliki alat bantu dewasa!” pekiknya dalam hati.

Dara menelan air liurnya sendiri, membayangkan kembali film dewasa itu, membuatnya harus kembali menahan gejolak hasrat yang mulai kembali bergemuruh kencang, berdentum jantungnya seperti genderang perang.

Mata Dara liar menyapu seluruh sudut kamar, mencari sesuatu yang dapat di gunakannya sebagai alat bantu. Area kewanitaannya tiba-tiba mengembang nyut-nyutan. Tetapi ia tidak menemukan sesuatu yang dapat dijadikannya sebagai objek pelampiasan.

Sesaat kemudian ia bangkit, lalu bergegas turun dari ranjang. Jantungnya terasa berdebar-debar, lirikan mata menyapu ke sekeliling ruangan.

Lalu, dengan langkah pelan, ia berjalan mendekati pintu. Setelah berada di muka pintu, Dara mengunci pintu kamarnya dari dalam dan berbisik, ”aman!” ucapnya dalam hati, dadanya terasa berdebar-debar.

Dara kembali membalikan tubuh, menuju ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, dan mendekati cermin di atas meja toilet.

Di depan cermin, ia tampak tertegun beberapa saat, ”hmm, tapi aku butuh! Tidak ada jalan lain, kecuali melakukannya ....” bisiknya dalam hati meyakinkan diri. Napasnya kini sudah mulai terdengar tak beraturan.

Perlahan, Dara menanggalkan gaun tidurnya. Berdiri tegak memandang pantulan tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya di depan cermin.

Semenjak menikah, ia memang jarang mengenakan pakaian dalam, berharap suaminya dapat bergairah. Dara sangat menanti pergerakan jantan dari senjata pusaka suaminya. Tetapi kenyataannya, sampai hari ini ia masih juga mendapatkannya. Senjata pusaka suaminya itu tetap saja lemah.

Pelan-pelan, telunjuk tangan kanannya mulai mengusap lembut bukit kembar yang sebelah kiri. sedangkan telapak tangan kirinya ia usapkan ke permukaan area sensitifnya yang dipenuhi bulu-bulu halus di sekitar area kewanitaan yang terbelah di antara pangkal pahanya itu.

Matanya terpejam. mencoba membayangkan kembali tayangan video yang penah dilihatnya di rumah Wita. Sedetik kemudian Dara terdengar menarik napanya pelan-pelan, matanya terlihat terpejam menahan hasrat yang semakin memburu.

Dara melakukannya berulang kali, mengelus dan mengusap daerah-daerah paling sensitif di sekitar tubuhnya. Tetapi, ia masih saja belum merasa puas. Hasratnya seakan bergerak cepat, memburu napsu yang sudah menggebu. 

Tanpa sadar, ia mulai memasukkan jari tengahnya ke sela-sela area kewanitaannya yang terbelah itu. Bulu-bulu halus di antara pangkal pahanya seakan berdiri menahan degup jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya.

Entah apa yang merasukinya, ia semakin menekankan jari-jarinya sampai akhirnya jari tengahnya itu berhasil menyelinap masuk ke dalam celah sempit yang mempunyai aroma khas itu hingga berulang kali.

Beberapa tetes cairan licin mulai keluar membasahi pangkal pahanya, tanpa sadar Dara mulai mendesis pelan, ”aaaduuh aaakh ....” ia mendesah menahan kenikmatan yang ia ciptakan sendiri.

Dara mulai menarik kembali jari tengahnya yang sudah berada di dalam tubuhnya itu dengan perlahan dan penuh pengkhayatan, lalu membenamkannya lagi beberapa kali. Bagian organ sensitif yang selalu memaksanya berpetualang dengan dunia khayal mulai terasa licin dan melebar dan berdenyut-denyut. 

Beberapa saat kemudian, ia tampak berusaha memasukkan dua buah jari, menekannya dalam-dalam lalu menariknya kembali. Ia melakukannya hingga berulang kali, tetapi puncak kenikmatan yang ia tuju belum juga menampakan diri.

Tanpa pikir panjang, Dara mencoba memasukkan tiga buah jarinya. Sungguh, ia benar-benar telah dikuasi birahinya sendiri, mungkin karena selama tiga bulan ini ia sangat menginginkan hubungan suami istri yang nyata dengan sentuhan. Hingga tanpa sadar membawanya ke dalam dunia khayal dan imaji yang ia ciptakan sendiri, tanpa peran dari suaminya.

”Duh ....” Dara mendesis lirih. Ketiga jarinya mulai menyelusup masuk separuh, Dara masih belum juga merasa puas, puncak kenikmatan yang menjadi sasarannya belum seluruhnya terlunasi. Dara kembali melebarkan kedua belah pahanya dengan lebih lebar, lalu menarik ulur ketiga jarinya berulang kali. Tetapi, belum juga ketiga jarinya tenggelam sepenuhnya, tiba tiba ia mengerang pelan, matanya tampak terpejam.

”Aaaduuuuh aakkhh ...." Dara merasa tubuhnya tiba-tiba melemas setelah menegang beberapa detik, keringat bercucuran membasahi seluruh tubuh. Nafasnya terengah-engah seperti orang yang sudah jauh berlari mengelilingi area stadion.

Perlahan, ketiga jari yang masih terjepit di dalam celah sempit miliknya, perlahan ia keluarkan sedikit demi sedikit. Dara akhirnya mencapai puncak kenikmatannya. Senyumnya terlihat lelah saat berjalan keluar dari dalam toilet, dan mendekati tepian ranjang.

Tubuhnya masih dalam keadaan tanpa busana, saat ia melemparkan diri ke atas ranjang dan memejamkan kedua bola matanya sembari berbisik pelan dalam hati, ”Pantas saja semua orang menjadi gila karena persoalan ini. Eh, memang nikmat, ya! Enak banget, astaga!” seru Dara dalam hati.

Tetapi, beberapa detik kemdian tiba-tiba ia kembali menampakan wajah lesunya, ”sayang sekali Guntur tidak mampu berbuat seperti laki-laki lain yang gagah memuaskan istri, memberikan nafkah batin kepada istrinya. Kondisi tongkat pusaka miliknya yang lemah itu sama sekali tidak bisa digunakan sesuai fungsi.

Dara masih merasa sepi, walau sudah mencapai puncak saat bermain dengan dirinya sendiri, Dara masih saja merasa kurang puas, ia ingin mendapatkan kenikmatan yang lebih sempurna dengan lawan jenisnya.

Selagi membawa terbang alam khayal, tba tiba pintu kamar terdengar di ketuk dari luar.

"Tok!" "Tok!" "Tok!"

”Nyonya!" suara bi Lastri terdengar nyaring, memanggilnya dari luar. ”Makan siang dulu, nanti tidurnya disambung lagi!” teriak bi Lastri.

”Iya, bi. Sebentar!” sahut Dara dalam kamar. Perlahan, ia menggeser badannya hingga ke tepian ranjang, lalu menuju toilet dan menyambar pakaiannya, dan bergegas mengenakan kembali pakaiannya dengan gerakan cepat.

Setelah selesai mengenakan pakaian, Dara lalu menyisir rambutnya hingga rapi, agar tidak menimbulkan kecurigaan di mata Bi Lastri, assisten rumah tangganya.

Anak kunci pintu diputarnya pelan, lalu menekan gagang pintunya ke bawah sampai pintu itu terbuka, bi Lastri terlihat masih menunggu di depan pintu sembari  tersenyum ramah kepadanya.

Dara membalas dengan melengkungkan sebuah senyuman di wajahnya sembari berkata, "makasih, ya Bi," ucap Dara. Bi lastri tampak tersenyum melihat sikap Dara yang sangat berbeda dengan sikapnya pagi tadi, Majikannya sekarang terlihat lebih tenang dan bercahaya, walau masih tampak sedikit lesu dan agak pucat di bagian wajahnya.

Bi Lastri mengangguk, ”Sama-sama, Nyonya ....” ujarnya seraya membalikkan tubuh, kembali menuju dapur.


Related Posts



Penolakan Dara

Sekitar pukul sembilan malam, suasana di rumah Guntur yang besar dan mewah itu tampak hening. Tidak ada sedikitpun terdengar suara orang berbincang. Bi Lastri yang setiap hari selalu sibuk dengan segala pekerjaan rumah, sudah tertidur lelap di kamar belakang karena kelelahan.

Dara terlihat santai meluruskan tubuhnya di atas sofa ruang tengah. Melonggarkan urat-urat syarafnya yang beberapa hari ini menegang sembari menikmati ‘Playlist’ lagu-lagu melayu yang mendayu pelan melalui perangkat headset yang menempel di kedua daun telinganya.

Malam ini Dara hanya ingin menikmati waktunya sendirian, tanpa harus merasa perlu lagi berjuang sendiri membangunkan senjata pusaka milik suaminya yang mati suri. Alat reproduksi milik suaminya itu selalu membuat ia kelelahan tanpa mendapatkan hasil.

Keadaan itu akhinya membuat Dara selalu uring-uringan sendiri. Kejengkelan hatinya bahkan kadang-kadang sampai terbawa sampai pagi.  Sepertinya Dara memang sudah sangat merasa lelah hati menghadapi keadaan suaminya.

Biasanya, hampir setiap malam, Dara selalu bersemangat membongkar resleting celana Guntur, berharap bagian tubuh sensitif suaminya memberikan reaksi. Tetapi hari ini ia benar-benar tampak sangat malas melakukan apapun. Dara seakan sudah tidak perduli lagi dengan keadaan Guntur yang menurutnya hanya mempunyai napsu yang besar saja, tetapi lemah dalam persenjataannya.

Melihat istrinya terbaring malas seakan tidak mempunyai gairah hidup seperti itu, Guntur merasa semakin berdosa, ia merasa tidak berguna. Selama tiga bulan ini ia sama sekali belum pernah memberi nafkah batin untuk istrinya. Dan itu rasanya sangat menyiksanya.

Terlebih malam ini ia meliihat Dara seperti sudah tidak memperdulikannya lagi. Satu detik lalu, sempat terlintas dalam pikirannya sebuah kecurigaan yang mengusik hatinya, ”Aneh?!" pikir Guntur mengerutkan kening. Menghela napasnya beberapa saat, lalu kembali berkata dalam hati, "biasanya jam-jam segini ia sudah sibuk membongkar celanaku, mengusap dan mengulum, berusaha membangunkan kejantananku yang beberapa bulan ini mati suri, mengapa malam ini ia benar-benar acuh? apakah ia sudah pasrah menerima keadaanku? Tidak mau mencoba dan berusaha lagi?!” Tanya Guntur dalam hati, pandangan matanya tampak erat mengunci ke arah Istrinya.

"Huuftt!" Guntur menghembuskan napasnya dengan cepat, lalu kembali berkata dalam hati, ”mudah mudahan istriku dapat memaklumi kelemahanku ini,” pikirnya lagi, berusaha meredam semua keresahan dalam diri. 

Pelan-pelan Guntur menghampiri Dara yang tengah terpejam menikmati nada dan alunan irama lagu yang bergema di telinganya.

”Ma!” panggil Guntur mengencangkan suaranya sembari menggoyangkan bahu istrinya itu.

Mendengar teriakan suaminya, tiba-tiba Dara terkaget untuk sesaat, lalu perlahan memutarkan kepala dan menoleh ke arah suaminya. ”Apa?” ia menjawab panggilan suaminya itu dengan acuh tak acuh. Sebentar kemudian ia lepaskan dua buah headset yang terpasang di daun telinganya sembari menatap ke arah Guntur sekilas, lalu dengan santai memakainya kembali.

Sebuah senyum yang dipaksakan tampak melengkung tergambar abstrak di wajah Guntur. Ia memahami kejengkelan hati istrinya, bahkan sebagai suami, ia merasa sangat berdosa, karena belum mampu memberikan nafkah batin kepada istrinya itu.

”Maafkan Papa, ya Ma … setiap malam Mama selalu gelisah hingga sampai kurang tidur. Papa ingin kita bisa bersentuhan secara normal, tetapi ...” keluh Guntur, terdiam sesaat sembari kembali membuang napasnya dan kembali berucap pelan, "punyaku masih belum bisa berfungsi, Papa mengerti, Mama pasti kecewa. Maafkan Papa, ya Ma ....” ucap Guntur terdengar putus asa.

Dara terdiam, musik ditelinganya sudah ia kecilkan dari tadi, tetapi rasanya sangat malas untuk merespon percakapan suaminya itu. Ia tetap memejamkan matanya, seakan tidak perduli dengan semua perkataan yang diutarakan suaminya.

”Papa harap, Mama mau menunggu dan bersabar, Papa yakin bisa sembuh dan kembali normal, Ma. Papa sedang berusaha mencari informasi untuk mengatasi masalah Papa ini, semoga Gandi secepatnya mendapatkan informasi yang valid dan dapat dipercaya khasiatnya.” Ucap Guntur menahan kekecewaan kepada dirinya sendiri. Ia terlalu lelah untuk terus selalu meradang dalam keputusasaan. Suaranya terdengar pelan, seakan memelas belas kasih dan pengertian lebih dari istrinya.

Dara menarik napasnya dengan kencang, lalu tanpa semangat ia berkata, ”Iya terserah Papa, tidur saja sana! Sudah malam, aku ngantuk. Mulai sekarang aku tidak akan mengusiknya lagi! Aku tunggu sampai Papa sembuh saja! Aku sudah capek!” ucap Dara ketus, mendelik ke arah Guntur, lalu membalikan punggungnya menghadap sandaran kursi sofa di ruang tengah rumah mereka.

Mendengar ucapan ketus istrinya, hati Guntur kembali harus merasakan perih, semua yang terjadi diantara mereka akhir-akhir ini benar-benar melukai perasaannya sebagai lelaki.

Guntur hanya dapat meredam rasa sakit yang nyelekit dalam hatinya. Setelah mengambil napas dalam-dalam dan lalu menghempaskannya tanpa semangat, Guntur diam-diam mencoba merebahkan tubuh di sisi istrinya, kedua tangan mencoba untuk melingkari tubuh Dara dengan segenap perasaan.

Maksud hati ingin memeluk istrinya mesra, menghangati hatinya yang selalu dirundung kecewa. Tetapi harapan Guntur pupus seketika, Dara berteriak membentaknya sembari mendelikan matanya yang bulat dan bening itu, ”Papa tidur di kamar saja!” tolak Dara seraya menekan sikutnya ke dada kiri Guntur. Hati Guntur seketika menciut, hatinya kembali teriris perih. Keningnya tampak berkerut, terlihat lesu menatap ke arah istrinya.

”Mama mengusir Papa?!"

”Tidak!” Seru Dara, lalu kembali membalikkan tubuhnya setelah mendelik ke suaminya sembari berkata, ”Untuk apa tidur berdua, jika Papa tidak bisa menunaikan kewajiban? Percuma, 'kan? Lebih baik Papa tidur saja di dalam kamar, malam ini aku ingin tidur sendiri di sini!” ucap Dara ketus.

Guntur kembali merasa tersudut, dadanya harus kembali merasakan perih. Ucapan Dara yang pedas sudah merobek hatinya. Tetapi, tidak ada yang dapat ia lakukan selain bersabar dan mencoba memahami kegelisahan istrinya. Guntur menyadari, semua karena kelemahan tubuhnya. Ia hanya mampu kembali menghela napasnya panjang berulang kali, menahan kegetiran dalam hatinya.

”Yaaah ....” keluhnya sembari bangkit berdiri, dan mengangkat kedua belah telapak tangannya ke udara, lalu berucap pasrah, ”ya sudah, kalau Mama tidak mau ditemani, Papa mengalah.” ucapnya lirih.

Dara diam seribu bahasa, tidak ingin ia berkata apa-apa lagi. Dara lalu memeluk bantal yang tergeletak di sisinya dengan gerakan yang pelan tanpa semangat.  Melihat Dara benar-benar tidak ingin diganggu, akhirnya Guntur mengalah, perlahan pergi dengan langkah yang sangat pelan, ia biarkan istrinya tidur sendirian di kursi sofa ruang tengah, perjalanan menuju ke kamarnya seketika terasa berat dan melelahkan.

Beban pikiran yang mendekam di dalam kepala selama berbulan--bulan membuatnya frustasi. Semua permasalahan yang menghantam pernikahannya  sangat berpengaruh terhadap kualitas hidupnya, kehidupan rumah tangganya dengan Dara, wanita yang selama ini ia cintai itu kini terasa hambar, merobek harga dirinya sebagai seorang lelaki.

Tidak ada lagi keharmonisan seperti waktu mereka pacaran dulu. Sebenarnya, waktu mereka menginap di villa miliknya, Dara sudah siap untuk menyerahkan semua miliknya, tetapi kala itu Guntur sangat ketakutan, jika Dara mengetahui kelemahannya, bisa jadi Dara pergi meninggalkannya saat itu juga.

Saat itu, Guntur berharap setelah mereka menikah ia sudah kembali menjadi lelaki normal yang gagah seperti sebelumnya, tetapi harapannya pupus. Segala obat dari racikan kimia sampai obat-obatan herbal yang ia konsumsi masih juga belum menunjukan tanda-tanda keberhasilan.

“Arrrrgh!” Teriak Guntur dalam hati, suara kencang yang menggeram hanya terdengar dari dalam kepalanya saja, bergemuruh seperti ombak kemarahan yang siap menelannya hidup-hidup.



Lelaki Keturunan Bombay

Seperti hari-hari sebelumnya, keesokan paginya Guntur sarapan sendirian tanpa ditemani istrinya, Dara terlihat masih tertidur pulas di atas kursi sofa ruang tengah. Dan Guntur memang tidak ingin mengganggunya.

Beberapa hari ini Guntur merasa ada perubahan pada istrinya. Kadang Dara tampak lelah, kadang menampakan muka cerah dan ceria. “Mungkin, Dara sudah sampai di puncak kekesalan hati, hingga menyerah terhadap keadaan,” pikirnya dalam hati. Guntur hanya mampu diam dalam kepasrahan hatinya, segala usaha telah ia lakukan untuk mengembalikan kesaktian tongkat pusakanya, tetapi masih juga belum menunjukan hasil yang signifikan.

"Ma! Papa pergi, ya!' Guntur menepuk bahu istrinya itu pelan dan hati-hati. Dara tampak menggeliat, matanya sayu menatap Guntur sesaat, lalu menganggukan kepalanya pelan sembari berkata, "Iya, hati-hati!"

Dengan gerakan pelan, Dara menjulurkan tangannya dan menyalami Guntur. Lalu perlahan bangun dari pembaringannya, mengikuti langkah suaminya ke depan teras rumah sampai mobil yang dikendarai Guntur tidak tampak lagi dalam pandangan.

Dara kembali masuk ke dalam rumah menuju ke dalam kamarnya, lalu perlahan merebahkan badannya, kembali terlelap hingga waktu makan siang tiba.

Dara terbangun mendengar suara ketukan dan panggilan keras bi Lastri yang mengetuk pintu kamarnya. Seperti biasa, bi Lastri sudah menyiapkan santap siang untuknya. Dara lalu bergegas pergi ke kamar mandi, membersihkan badannya dan menuju ke meja makan.

 Setelah makan siang, Dara bersantai sejenak di halaman belakang rumah. Angin kejenuhan mulai menyapanya dengan nada tajam. Dara benar-benar ingin melepaskan penat dan menghibur diri sendiri.

Sembari merenung menikmati desiran angin di taman belakang halaman rumah, Dara berbincang dengan dirinya sendiri, "Jalan-jalan ke Mall sepertinya seru, ya? Cuci mata sembari refreshing, bosan sekali rasanya diam saja di rumah," ucap Dara dalam hati. 

Dara lalu segera bangkit dari kursi teras belakang rumah dan bergerak menuju ke dalam kamarnya, bergegas merapikan diri. Kedua kakinya melangkah santai menuju ke tempat gantungan kunci mobil sembari berteriak ke arah Bi Lastri, "Bi! aku keluar dulu sebentar, ya!"

"Iya, hati-hati!" seru bi Lastri sembari tergesa-gesa menghampiri Dara tanpa banyak bertanya. Bi Lastri lalu membukakan pintu gerbang dan kembali menutupnya setelah mobil yang dikendarai Dara keluar dari dalam garasi dan menghilang.

Di Mall pusat pembelajaan tengah kota, satu teriakan terdengar cukup nyaring di telinga Dara.

”Dara!”

Dara yang sedang melihat beberapa pakaian yang tergantung di sebuah super market itu, segera menoleh ke arah asal suara. Mata Dara tampak menyapu ke area sekitar, mencari asal suara yang memanggilnya. Sedetik kemudian darahnya tersirap, dilihatnya seorang lelaki tampan keturunan Bombay yang pernah dikenalnya di tempat Gym, menghampirinya sembari tersenyum.

”Kalau tidak salah, itu Farhat, ya?" tanya Dara dalam hati, "wuih, masih ganteng aja …." desisnya pelan tanpa sadar.

”Hai Dara!” Sapa lelaki itu, mendekati Dara sembari melemparinya dengan senyum yang memikat hati. Dara membalas senyuman itu, memasang wajah manis untuk lelaki keturunan Bombay itu, keduanya lalu bersalaman penuh keakraban.

”Hai! Farhat, ya? Apa kabar?” ucap Dara balik bertanya.

Lelaki itu tersenyum menatap Dara, ”Iya, betul. Wah masih ingat, hehe ... aku baik, Dara, terima kasih,” sahut Farhat tersenyum ramah.

Dara tersenyum dan menganggukan kepalanya pelan, sembari pura-pura kembali menyibukan diri memilih pakaian yang di pajang di supermarket itu, ia kembali bertanya. "Kamu mau kemana? Sendirian?' tanya Dara basa-basi.

"Iya sendiri, aku kerja di sini," ucap Farhat, masih melingkari wajahnya dengan senyum mautnya itu.

"Oh, begitu, ya."

"iya"

Farhat, lelaki keturunan Bombay yang bertubuh tegap, berwajah ganteng dan berkulit sedikit gelap itu kembali melebarkan senyumnya. Tanpa basa-basi, ia kemudian bertanya, "Aku dengar, kamu sudah menikah, ya?"

"Iya, baru tiga bulan." sahut Dara, tiba-tiba nada suaranya terdengar tidak lagi bersemangat, seakan malas membahas hal itu, ia kemudian balik bertanya, "kamu sendiri?"

 ”Semenjak aku dikecewakan, aku tidak pernah punya keinginan untuk menikah atau pacaran. Aku hanya ingin menikmati hidup, tidak mau diganggu hal-hal semacam itu lagi," cerita Farhat, terdengar santai seolah tanpa beban.

”Ah masa, sih! Tidak mungkin!?” tukas Dara, melirik sesaat ke arah Farhat, lalu kembali bertanya, ”Sampai sekarang, sama sekali tidak ada keinginan untuk berumah tangga? Punya keluarga sendiri, gitu?"

”Tdak ada. Pokoknya, sekarang aku sedang tidak ingin menjalin hubungan serius dengan siapapun, terlebih hubungan yang mengarah ke pernikahan. Kecuali, hmm ... kalau kawin … kawin mah hayuk! Ahahahaa ...." Seru Farhat sembari tertawa terbahak, mengerlingkan sudut matanya ke arah Dara,  seolah sedang ingin menggodanya.

"Ih, dasar!"

Dara tersenyum simpul, tiba-tiba di dalam dadanya terasa desiran aneh saat menatap senyum Farhat yang tampak menggodanya itu. Pun begitu Farhat, ia sedari dulu memang menyukai Dara, hanya saja belum sempat ia utarakan langsung. Dan saat ia mendengar Dara sudah menikah, ia pun menghilang dan mundur secara teratur.

”Oh, iya” kata Farhat kembali, ”ngomong-ngomong kamu sama siapa? Sendirian?”

”Iya! Aku sendirian. Pusing di rumah selalu ada saja masalah. Males aku, jenuh sekali di rumah," ucap Dara 

”Mengapa? Ada masalah?'

"Males, aja."

Farhat tersenyum ringan, lalu menaikan alisnya sesaat. Ia tidak ingin mendesak Dara lebih jauh, terlebih menyangkut masalah di dalam rumah tangganya. Farhat terdiam sebentar, dan mengamati tubuh Dara sembari tersenyum, "Tapi, sudah 'isi'?" tanyanya.

”Isi apaan? angin? gimana mau hamil? Huuft, suamiku tidak bisa,” sahut Dara pelan, tampak wajahnya tiba-tiba berubah muram.

"Tidak bisa? Tidak bisa apa?"

"Yaa ... gitu, deh! aku malas cerita. Udah, ah jangan bahas suamiku. Ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana sekarang?" Tanya Dara, mengalihkan topik pembicaraan.

"Oke, tidak apa. Jangan dibahas kalau tidak mau cerita ... hmmm aku di Bubat regency, mampir ‘lah kalau sempat." Ucap Farhat tersenyum tipis, basa-basi sembari memancing ikan dalam air keruh. Farhat menduga rumah tangga Dara sedang tidak baik-baik saja. Tiba-tiba dalam hatinya terbesit sedikit harap, rasa penasaran itu masih ada.

”Oh daerah sana, ya. Siap. Nanti kalau waktunya pas, aku mampir. Shareloc aja lokasi rumahnya." kata Dara. Tiba-tiba benak dalam kepalanya seolah berbisik pelan, otak nakalnya sedikit mulai bekerja. Tanpa sadar, Dara berharap dapat menemukan petualangan seru bersama lelaki di depannya ini.

”Oke! Nomor Whatsapp kamu masih yang lama? Nanti aku kirim lokasinya, ya! Sekarang aku harus masuk ke ruang kerjaku, nih! Kamu hati-hati di jalan, oke?" ujar Farhat, menepuk pundak Dara pelan, lalu berlalu setelah melemparkan senyum ke arah Dara.

Dara hanya membalas senyuman Farhat sembari menganggukan kepalanya pelan. Tidak terasa, dadanya berdebar kencang.

Semenjak pertemuannya dengan Farhat, hati Dara selalu terasa berdesir indah. Kadang ia terlihat melengkungkan senyum di wajahnya sendirian, membayangkan lelaki ganteng yang berkumis tipis dan berkaca mata hitam itu memeluk tubuhnya dengan penuh gairah.

"Gagah sekali ya Farhat, pasti punyanya sangat kuat dan kencang!" Bisik Dara dalam hati. Tanpa disadari, nama Guntur mulai tersingkirkan dari hati dan pikirannya. Sepertinya ia sudah tidak memperdulikan lagi keadaan suaminya yang tidak bisa memberikan nafkah batin kepadanya.

Dara mulai sibuk dengan pikiran dan khayalannya sendiri. Fantasi tentang permainan hasrat yang nakal semakin berkembang liar di kepalanya.

Tetapi, status Dara sebagai seorang istri, membuatnya tidak bisa berbuat banyak. Ia harus tetap berusaha bertahan dan memaksa dirinya bersabar melayani kebutuhan suaminya walau dengan berat hati.

Guntur sebenarnya dapat merasakan ada yang berbeda dari istrinya itu, semakin hari Dara semakin menjauhinya. Bahkan hanya untuk menemani dan melayaninya makan saja, Dara terlihat melakukannya seperti malas-malasan.

Dara merasa sudah jenuh dengan kehidupan rumah tangganya, semakin hari semakin terasa hambar, tanpa ada sedikitpun hasrat dan gairah di dalamnya.

Pikiran dan khayalanya selalu terpaut kepada sosok Farhat, lelaki keturunan Bombay itu telah berhasil menumbuhkan hasrat terpendam yang selama ini bersemayam di dalam dada.

”Kata orang banyak, tongkat pusaka milik orang bombay itu panjang dan besar, apa benar? Hmm, kalau begitu, punya si Farhat juga dong!? Aduuuuhh ....” Dara kembali berbisik dalam hatinya yang berdebar-debar, tiba-tiba darahnya bergejolak saat membayangkannya. Pikiran kotor dalam kepalanya kembali berbisik, "seandainya aku bisa main dengan Farhat, pasti semua hasrat dan khayalanku dapat tersalurkan dengan sempurna! Telah lama aku ingin merasakan bagaimana nikmatnya kepuasan batin yang selama ini tidak aku dapatkan dari suamiku." Ucapnya, terdengar melantur dalam hati, tampak seutas senyum terlukis di wajahnya yang tiba-tiba memerah.



Berkunjung Ke Rumahnya

Tepat pukul dua dini hari. Dara terjaga dari tidurnya karena ingin buang air kecil. Di atas tempat tidurnya, tatapan mata Dara tampak lurus memandang ke arah suaminya yang tertidur pulas di sampingnya.

"Kasihan sekali, lemah ....” bisik Dara dalam hati. Sungguh, antara dongkol dan iba terasa tipis dihatinya. Dara bangkit perlahan dan berdiri, langkahnya pelan menuju ke arah kamar mandi yang letaknya di dalam kamar mereka.

Dara terlihat malas-malasan berjalan ke kamar mandi untuk buang air kecil. Padahal, kegiatan buang air kecil bukan suatu hal yang sulit, ia hanya tinggal menyingkapkan gaun tidurnya sampai terdengar “swuit” yang mendesis, dan rasanya pun melegakan. Tetapi, ditengah rasa kantuk, hal itu terasa berat dilakukan.

Setelah selesai buang air kecil, Dara membasuh organ vitalnya, lubang kewanitaannya yang masih sempit itu tiba-tiba terasa berdenyut, seketika birahinya naik sampai ke puncak ubun-ubun saat lentik jarinya menyentuh organ vital yang paling sensitif dari tubuhnya itu, "Aduuh akhh ... Farhaaaat!" tanpa sadar Dara mendesis perlahan, memanggil nama lelaki yang bukan suaminya.

Saat itu juga, rasa kantuk seolah terbang menjauh dan menghilang. Napasnya terasa naik dan turun dengan cepat. Jantungnya bergemuruh seakan sedang memburu sesuatu.

Sembari menahan tubuh yang bergetar hebat menahan gairah yang tiba-tiba menghampirinya, Dara tampak buru-buru menanggalkan baju tidurnya dan menggantungkannya di dinding kamar mandi sembari meyakinkan sekali lagi, bahwa posisinya aman. Pintu kamar mandi sudah terkunci.

”Hmmm, jika Guntur mengetuk, aku pura-pura buang air besar saja, aku sudah tidak kuat ... aaaiiisshh!" Dara mendesah dalam hati, menahan deru napasnya yang memburu.

Beberapa detik kemudian, lentik jari-jarinya mulai bergerak lincah memberi rangsangan kepada area-area yang paling sensitif di tubuhnya. Bayangan paras dan bentuk tubuh atletis milik Farhat kembali melintas di dalam pikirannya. Libido yang berkembang liar dalam dada Dara sontak bergemuruh dengan sangat kencang, ia semakin tinggi memainkan fantasi alam liarnya yang semakin menggila.

Kedua bola matanya berputar mencari sesuatu yang bisa ia mainkan ke dalam area paling sensitifnya itu. Tetapi ia tidak menemui apapun, hanya ada sebuah botol bekas limun yang kebetulan sempat ditaruh Guntur dipojokan kamar mandi, tetapi Dara merasa kurang tertarik, botol itu pun ia acuhkan.

Satu detik kemudian, Jari telunjuknya mulai mengusap sebutir daging kecil di atas bukit kembarnya. Darahnya kembali berdesir kencang, dada berdebar, birahinya bergejolak hebat.

"Uughhhh ... Farhaaaat!" desisnya dalam hati, mengarahkan kedua jari ke arah pangkal paha sembari membuka kedua kakinya lebar-lebar.

Sedikit celah diantara pangkal pahanya mulai terasa basah oleh cairan pelicin alami dari sananya. Dua buah jarinya perlahan-lahan mulai menembus masuk ke dalam area kewanitaannya, ia mainkan di dalam sana untuk beberapa menit ke depan. Jantungnya kembali berdegup kencang, kenikmatan gairah yang menggebu, betul-betul telah memompa andrenalinnya hingga ke puncak ubun-ubun.

”Aduuuh ...  aahhhh ... Farhaat! Enaak sayang, aduuh ... ssshhh ....” mulutnya kembali meracau, mendesis tak henti, mengikuti irama hentakan kedua buah jari yang sudah berada di dalam celah sempit miliknya itu.

Lagi-lagi, Dara masih kurang puas hanya memainkan 2 jarinya, ia kemudian memasukan tiga jari, dan mulai masuk separuhnya. Berkali kali ia tarik, ke luar, lalu ke dalam dan ke luar lagi. Semakin lama ketiga jari itu masuk dengan bebas dan mudah karena cairan pelumas alami dalam tubuhnya semakin deras menetes.

Dara menggeliat menahan nikmat. Tanpa sadar, bibirnya kembali meracau berulang-ulang memanggil nama Farhat, "aaaahh ... Farhaat! ... Ssshhhh ... Farhat, sayaaaaang ...." desahnya pelan hampir tak terdengar. Dara benar-benar hanyut dalam hasutan setan, semakin lama ia semakin terlena menikmati napsu birahinya sendirian.

Tidak lama kemudian, gerakannya bertambah cepat, menusuk dan menarik jari-jarinya berulang sembari mengusap lembut beberapa area sensitif tubuhnya.

Tidak lama kemudian, tubuhnya menegang untuk sesaat, lalu lunglai dan melemas setelah hinggap di puncak kenikmatan yang ia ciptakan sendiri.

"Farhaaat, sayaaang ...." ucapnya lirih, masih memanggil nama lelaki yang jelas bukan suaminya. Sepertinya ia sudah mulai terobsesi kepada lelaki berdarah campuran bombay itu.

Dalam hatinya ia berbisik pelan, "aku mau melakukannya denganmu, Farhat ...." Dara mendesah pelan, khayalan liar semakin menumpuk di dalam kepala, "Kapan kita bisa melakukannya di dunia nyata, Farhat, sayang ...." celoteh ngawur kembali terdengar dari dalam hatinya, menggema memenuhi imajinasi dalam kepalanya.

Setelah menyelesaikan hajatnya, perlahan Dara mengenakan kembali baju tidurnya. Dengan lemas berjalan ke arah ranjang dan merebahkan tubuh di samping Guntur yang masih tampak tertidur pulas. Sekarang, Dara bisa terlelap dengan tenang.

Pagi hari, bertepatan dengan hari minggu, Dara minta izin kepada suaminya untuk belanja kebutuhan bulanan ke Mall. Guntur hanya mengangguk dan mengizinkan istrinya untuk pergi berbelanja ke Mall.

Guntur sengaja memberinya izin, dan memberikan kartu debitnya. Ia biarkan Dara mencari kesenangannya sendiri. Dengan jalan-jalan dan berbelanja, Guntur harap Dara dapat melupakan kekesalan hatinya walau sesaat.

Dara menyetir mobilnya sendirian, ingatannya kembali terpaut kepada sosok lelaki keturunan Bombay itu. Farhat, benar-benar sudah memenuhi seluruh ruangan dalam benaknya.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba Dara menghentikan laju mobilnya, lalu mengambil ponsel dan mengirimkan pesan singkat kepada Farhat. "Aku ke rumah, ya sekarang?" isi pesan yang diketik Dara, lalu mengirimkannya.

Tidak berapa lama kemudian, notifikasi balasan terdengar, Dara segera melihat ke layar ponselnya dan tersenyum cerah. Sebuah chat balasan singkat membuat hatinya berdesir indah.

"Ok, aku tunggu!" Isi balasan pesan singkat dari Farhat.

Dara segera melanjutkan perjalanannya menuju ke arah Bubat, membatalkan niatnya untuk berbelanja ke Mall. Ia sudah tidak sabar ingin segera bertemu Farhat, lelaki yang selalu mengisi alam khayalnya beberapa hari ini.

Rumah Farhat tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman untuk ditinggali, rumah itu di desain dengan konsep modern minimalis, tampak asri dengan beberapa tanaman hias di halaman depan. 

Setelah memarkirkan mobil, Dara lalu bergegas turun, ia melangkahkan kakinya ke teras depan rumah dengan perasaan yang riang. Tidak menunggu lama setelah menekan bel, terdengar derap suara langkah kaki mendekat dari dalam rumah.

"Ceklek!" 

Suara pintu terbuka, sosok lelaki yang beberapa hari ini selalu memenuhi alam khayalnya, kini berdiri di depannya dengan sebuah lengkungan senyum yang menggoda.

"Hai! Aku pikir kamu bercanda mau main ke rumah, sini masuk! Sendiri?" sambut Farhat, membukakan pintunya lebar-lebar.

"Sendiri, lah! Ngapain bawa teman ...." sahut Dara sembari tersenyum genit ke arah Farhat.

"Hehe, iya bener, biar kita bisa bebas ngobrol apa saja, ya?" ucap Farhat, lirikan matanya tampak usil menggoda Dara sembari melengkungkan senyum di antara wajah blasteran Bombay-nya.

Dara mengikuti langkah kaki Farhat memasuki ruangan depan rumahnya sembari tersenyum dengan muka agak sedikit memerah. Farhat lalu mempersilahkan Dara duduk di sofa panjang ruang tamu. Sementara itu, ia segera berjalan menuju ke belakang, mengambil dua minuman botolan dari dalam kulkas, untuknya satu dan satu lagi untuk Dara.

Tidak lama kemudian, Farhat kembali ke ruang tamu dan menyerahkan minuman botolan bersoda itu kepada Dara yang menerimanya sembari tersenyum dan berkata, "Terima kasih, ya!"

"Jangan sungkan, kalau kamu mau yang lainnya, ambil saja sendiri di dalam kulkas, ya! Anggap saja rumah sendiri," ujar Farhat, lalu duduk di samping Dara, menatapnya tanpa melepaskan senyuman maut yang selalu tampak melengkung menghiasi wajahnya.

Melihat senyum Farhat sedekat itu, dada Dara sontak berdebar-debar. Jantungnya seakan berhenti berdetak, harum tubuh lelaki keturunan Bombay ini seakan telah berhasil menghipnotisnya. Rasanya, ia rela jika hari ini ia harus menyerahkan segalanya untuk Farhat. Lelaki yang telah menjadi objek khayalannya selama beberapa hari ini, benar-benar sangat menggoda gairah dan libidonya.

"Euumm ... kamu tinggal sendiri di sini?" tanya Dara basa-basi, kedua bola matanya tampak berkeliling menatap seluruh ruangan rumah. Warna putih yang mendominasi membuat rumahnya ini terlihat cerah.

Dengan desain dan beberapa furniture modern yang menghiasi, rumah Farhat benar-benar nyaman untuk ditinggali.

"Sekarang? Berdua, dong … sama kamu," sahut Farhat, melirik ke arah Dara sembari menggeser duduknya hingga tubuh mereka kini begitu rapat.

Tatapan mata Farhat yang tajam menatap Dara benar-benar sangat menggodanya. Jantung Dara seketika berdegup kencang, dadanya berdebar dengan sangat hebat. Hasrat yang tertahan seolah tidak bisa lagi ia bendung.


Bagaimana kelanjutan hubungan antara dara dan Farhat? Lalu, bagaimana pula status pernikahannya dengan Guntur? Lanjut baca sampai tamat, yuk!


Informasi buku :

Judul Jumlah Chapter Rate Status Harga
Suamiku Lemah Syahwat 18 Chapter Availabe +21 Dewasa! Tamat Idr 12.5k

Nanti baca ini juga, ya?
Promo Spesial!

Paket Cerita Dewasa

20 judul e-book format .pdf khusus cerita dewasa, hanya 25k saja. Tunggu apa lagi?

Order Sekarang